Wartawan

Sosok Adnan NS, “Si Brewok Aceh Itu” Peroleh Penghargaan PWI

×

Sosok Adnan NS, “Si Brewok Aceh Itu” Peroleh Penghargaan PWI

Sebarkan artikel ini
Sosok Adnan NS, Si Brewok Aceh Itu Peroleh Penghargaan PWI
Adnan NS. (Dok Ist)

INDONESIAGLOBAL – Sosoknya tidak asing dalam dunia pers di seantero Nusantara ini. Dalam paspor, tercantum nama lengkap dari ortunya, yakni Adnan Nyak Sarong. Sementara, nama populernya ialah Adnan NS.

“NS” itu merupakan kependekan daripada Nyak Sarong. Orang tuanya si bungsu dari dua bersaudara pasangan Hanafiah-Fatimah.

ADVERTISEMENTS
BANNER

Kebetulan saat proses kelahiran, ortunya terbungkus plasenta alias “bersarung”. Maka namanya pun langsung di dipanggil si Sarong, tulis Adnan kepada media ini.

Lazimnya dalam kehidupan orang Aceh, anak kecil atau si bungsu digelar si Nyak. “Kebetulan lahir bersarung, jadilah sebutan Nyak Sarong hingga dewasa, sedangkan nama aslinya Yahya,” tutur Adnan.

Di balik itu, Adnan menyebutkan ada cerita menarik. Suatu ketika, dia melakukan lawatan ke Eropa. Nama dalam tiket dan manifest maskapai penerbangan asing itu tertulis Mr. Sarong Nyak-Adnan.

Di kala transit itu, ia nyaris tertinggal di Bandara Amsterdam. Hingga last called pada last minute, suara panggilan Sarong Nyak terus berlangsung. Merasa tak memiliki nama seperti itu, dia pun tetap duduk tenang.

Dia baru tersadar, kalau nama dipanggil-panggil itu adalah namanya. Salah seorang petugas mengelilingi barisan penumpang di waiting room. Sambil mengangkat tangan, petugas ini menanyakan route flight kepada para penumpang.

“Jika tidak begitu, pasti harus bermalam di Bandara yang menggigil tersebut.” Kelakar ini, diutarakannya ketika kepada para wartawan junior mengerubutinya, di suatu kafetaria di Kota Langsa.

Adnan NS, pria kelahiran Krueng Sabee Ahad 14 Agustus 1955 itu, pada Jumat 9 Februari 2024 malam, memperoleh Penghargaan sebagai Tokoh Pers Senior tataran nasional asal Aceh Jaya.

PWI Aceh Jaya di bawah pimpinan Hendra, berinisiatif memberikan penghargaan pada malam penganugerahan di Calang, Ibukota Aceh Jaya. Sementara, Adnan NS sendiri, saat ini sedang berada di Malaysia.

Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin menyerahkan penghargaan pada Adnan NS yang diterima anaknya Muhtadi Khadafy, disaksikan ketua PWI Aceh Jaya, Hendra. (Foto Ist)
Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin menyerahkan penghargaan pada Adnan NS yang diterima anaknya Muhtadi Khadafy, disaksikan ketua PWI Aceh Jaya, Hendra. (Foto Ist)

Menghadiri perkawinan Ruqayyah-Zubair. Darmawi si Ayah putri sehari itu, berasal dari Keutapang, Calang, adalah adik sepupu Adnan NS sendiri.

Untuk terselenggaranya hajatan ini, Ketua PWI Aceh M Nasir Nurdin, menyerahkan penghargaan ini kepada putranya Muhtadi Khadafy, kebetulan wartawan juga.

Wartawan renta yang masih gesit di usia 69 ini, diketahui mulai berkecimpung dalam dunia pers pada Harian Waspada Medan sejak 29 September 1980 hingga Agustus 2021.

Tugas liputannya lingkang pukang ke berbagai pelosok seantero Aceh. Putra ke delapan dari 11 bersaudara, pasangan Nyak Sarong ID-Aisyah Bin Arsyad Mando Gle ini, tidak pernah luput dari berbagai ancaman.

Ancaman demi ancaman dan makian hingga kejaran dengan bedil dan ekor pari di Pulau Weh, Sabang. Peristiwa 8 Desember 1981 itu, ketika usia putranya Khadafy, baru lima bulan. Dan pelakunya adalah oknum AL.

Cerita Adnan, malam itu dia harus ngumpet, alias sembunyi di rumah Dandim Sabang, Letkol Carnolis Tane. Kala itu, praktisnya selama satu bulan Kantor Press Centre di bawah pimpinan Teuku Yusuf, BBA wartawan Analisa terpaksa ditutup sementara.

Selain sebagai wartawan pemegang sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Utama ini, Adnan NS juga pemegang Press Card Number One (PCNO) 2013 bersamaan Wamen Kominfo Nezar.

Sebgagai Dosen tetap pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol Universitas Iskandar Muda Aceh (UNIDA) Banda Aceh, mengaku tegar dan sukses dalam menjalankan tugas jurnalistiknya berkat gemblengan mental, kedisiplinan berkat didikan keras Harian Waspada tertua di Sumatera ini.

Kembali pada sisi ancaman tugas. Ancaman itu, kata Adnan, bisa datang silih berganti dalam berbagai tugas liputan. Di antara deretan teror dan ancaman sempat trauma, saat ancaman nyata perteleponan dari kalangan GAM Aceh Besar. “Kali ini benar-benar nyata,” ujarnya.

Kejadian itu, kata Adnan terjadi pada masa konflik bersenjata TNI/POLRI Vs GAM. Ancaman pertelepon tersebut, berakhir pada aksi pembakaran mini bus Hiacen miliknya BL 855 AS (Adnan Sarong) 11 Mei 2002 pukul 11.08 WIB.

Kemudian, lanjut Adnan, eksistensi pers di Aceh kala itu persis seperti nasib “asam sunti”, di bawah batu, di atas pun ditimpa batu penggiling.

“Semua berita menjadi serba salah. Kutipan berita dari sumber resmi pun menjadi salah. Ya bisa jadi salah tafsir salah makna.” Belum usai diteror GAM, muncul lagi teror oknum aparat.

“Sebagai wartawan posisi masa itu serba salah, walau tak disebut, bagaikan buah simala kama?.” Menurut dia, semua ranjau itu Alhamdulillah bisa lolos berkat suatu nawaitu yang tulus dalam melakukan proses sosial kontrol. Ini, tegas Adnan, memang wajib dilakukan seorang insan Pers.

Tentunya, bentuk tulisan disajikan tidak tendensius. Harus balancing news. “Wajib melakukan proses check and recheck serta tidak memojokkan suatu lembaga, organisisasi maupun privasinya, di balik keharusan penyiaran suatu straight news, maupun dalam bentuk tulisan opini.

Adnan menjelaskan, sebagai wartawan harus selalu merujuk pada kaedah dan prinsip baku. Selalu mempedomani rumus 6-Mnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sehari-hari.

Andai selalu tidak keluar dari kaedah, norma serta mentaati pedoman penulisannya, “Insya Allah kita semua senantiasa selamat dan dilindungi Allah SWT dalam bertugas. Konon juga akan terpayungi dengan UU 40/1999 tentang Pers,” ungkap Adnan.

ERA DIGITALISASI

Tugas para jurnalis era digitalisasi, menurut Adnan, kekinian jauh lebih mudah. Seorang wartawan dalam melakukan aktifitas, mencari, memperoleh, mengolah, memiliki dan menyimpan serta menyiarkan suatu berita lebih mudah, dibandingkan era kami dahulu.

Era sekarang, sebut Adnan, semua serba kilat, mudah, mulus serta transparansi. Era kini tugasnya tidak ada lagi terbentur dengan batas geografi, transportasi, waktu dan tanpa melalui proses percetakan, mesin hand press maupun off set serta teleks. Tanpa harus beranjak dari lokasi, semua wartawan bisa langsung menyiarkan berita via media onlinenya.

Adnan alias Denan selain wartawan, dia juga jangan berjasa sebagai Deklarator Kabupaten Aceh Jaya, merangkap Ketua Pemekaran bekas Wilayah Kewedanaan Calang 15 September 1999.

Di tangannya, Aceh Jaya bisa “ditetas” dari kejauhan, Banda Aceh jaraknya 147.000 meter di Ibukota provinsi Aceh. Dananya sangat minim. Tidak ada satu pun personal pada lintasan perjuangan pemekaran dinakhodai berani meminta “uang pelicin”.

Mungkin, kenang Adnan, akibat keengganan para pihak karena pada dirinya melekat atribut kewartawanannya?. Boleh jadi juga, karena dia ini sosok dikenal luas?

Awal 2012, Teuku Cut Agam, Teuku Sukandi dan Adnan NS yang masuk dalam unsur KP3A (Komite Persiapan Pemekaran Provinsi ABAS). Di Hotel Meuligoe, Meulaboh, Aceh Barat, disaksikan ratusan unsur KP3A se-BARSELA (Barat Selatan Aceh), mereka mendeklarasikan terbentuknya Provinsi ABBAS.

Selain itu, lanjut Adnan, sebagai salah seorang wartawan senior, dia kerap sekali menjadi saksi A-De CHARGE (saksi meringankan) untuk kasus delik pers menjerat para wartawan.

Instruktur berkaliber ini, juga sering menjadi instruktur dalam pelatihan wartawan di bawah naungan PWI dan penyajian makalah di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta lembaga dan organisasi lainnya.

Kata dia, awal 2000-an, dia sering diundang sebagai pemateri liputan wilayah konflik dari Aceh hingga Merauke, Papua.

Tak heran, pada masa itu, Ketua PWI Aceh satu ini dalam setiap forum nasional sering disapa dengan “Si Aceh” ketimbang nama aslinya. Sosoknya tidak asing. Suaranya menggelegar dan membuat teman-teman terbelalak, namun orangnya tetap frankly dan friendly.

Sebelum menjadi Ketua PWI Aceh dan Pengurus PWI Pusat, Adnan NS sempat dua periode lebih menduduki jabatan Ketua IPKB Aceh (1985-1996). Masa rezim Presiden Soeharto itu, Indonesia masih 27 wilayah provinsi.

Kata Adnan, hampir semua ibukota provinsi sudah ditapaki. “Termasuk Dili, Timor Leste.”

Dari Dili, cerita Adnan, dia pernah menempuh jalan darat via Motaain, Kabupaten Belu. Untuk perjalanan menuju Kupang, NTT harus melintas Kabupaten TTS (Timor Timur Selatan) serta TTU (Timor Timur Utara). Sempat singgah sejenak di restoran “Kolam Susu”. “Kami di sana tidak minum susu, justeru meneguk minuman kaleng, khas Indonesia Wilayah Timur,” kata dia.

Kebanyakan pengurus Ikatan Penulis KB (IPKB) 1980-1990an itu paska bergulirnya puncak reformasi, rata-rata sudah masuk dalam kepengurus PWI daerah masing-masing. Jadi sosok wartawan brewokan ini langsung larut dengan aneka nostalgia melatarinya.

Aceh pada masa konflik situasinya sedang berada dalam kondisi di “persimpangan jalan!” Referendum atau merdeka? Akan halnya beberapa daerah lainnya di Indonesia, posisinya dalam kondisi kurang kondusif.

Sementara para tokoh bangsa sedang larut dalam gontok-gontokan. Satu sama lain saling ngotot dan lebih mementingkan kelompok daripada membicarakan kesatuan dan persatuan bangsa. Suasana kerenggangan begitu terasa. Departemen Penerangan dileburkan Presiden Gusdur.

Gusar melihat keadaan tak karuan ini, Ketum PWI Tarman Azzam berusaha memframing opini melalui Gerakan Nasional Bersatulah Bangsaku (GNBB).

Sebagai Ketua PWI Aceh, Adnan NS dari provinsi paling barat Nusantara dan Ketua PWI Papua Usman Paka Ubun di ujung timur, dihadirkan di belantara hutan tak berbatu itu.

Bagi Tarman cukup beralasan, Papua dan Aceh masuk daerah “three hot spot” kategori militer masa itu. Kedua provinsi paling barat dan timur ini dianggap sebagai pemegang simpul utuh tidaknya NKRI ini ke depan.

Desa Sota, Merauke Perbatasan Indonesia dengan Papua New Ginie menjadi tempat deklarasi. Disaksikan Lembaga Ketahanan Nasional, pengganti Departemen Penerangan, Tarman Azzam mendeklarasikan GNBB yang diprakarsainya itu.

Mulanya unsur Aceh dan Papua diikut sertakan dalam beberapa safari perekat bangsa ini. Safari ini tak berusia lama, akhirnya padam sendiri ditelan suasana Pemilu April 2004, seiring mulai kondisinya suasana perpolitikan di Indonesia.

Seiring kegaduhan di Aceh, Adnan NS dalam kunjungan di berbagai provinsi sering diincer pihak radio dan pertelevisian Nusantara untuk dijadikan Narsum. Dalam sejumlah interaktif (life) dadakan dimunculkan begitu diketahui hadirnya sosok wartawan Aceh.

Materi badannya tentang situasional kekinian dan liputan wilayah komplik di Aceh. “Selebihnya adalah soal dialog pers biasa.”

Terakhir kali, ujar Adnan NS, dia muncul pada live TVRI Jambi dua tahun lalu. Kemudian, lanjut Adnan, adapun jabatan internal pernah diembannya pada Harian Waspada.

Awalnya sebagai Koordinator Aceh Utara, di Lhokseumawe 1995-200, PLH Kepala Perwakilan Waspada Aceh di Banda Aceh, 1998-2000, Kepala Perwakilan Waspada Aceh 2000-2008. Staff Khusus Pemimpin. Umum bidang Marketing 2010-2021.

Di luar tugas profesi kewartawanannya, si “kuli tinta”, Putra Krueng Sabee ini pernah terpilih sebagai Senator Perintis (DPD RI) 2004-2009, dengan capaian suara 145.733.

Selain itu, sebagai salah seorang Deklarator Provinsi ABBAS 2012 ini, dia juga pernah menjadi anggota Dewan Penasehat PWI Pusat 2013-2018 dan Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Aceh 2010-2015.

Pada beberapa forum PWI, ujar Adnan, sering dipanggil “Si Aceh” atau “Sibreok Aceh” sesama teman PWI daerah lainnya.

Pada Kongres PWI Solo, Firdaus Ketua SMSI Pusat menyebutnya si “Garis keras”. “Kala itu memang keduanya berbeda pilihan,” akhir Adnan menceritakan.

Rumah Wartawan Diduga Dibakar OTK
Peristiwa

INDONESIAGLOBAL, MEDAN – Video yang menyebutkan rumah salah seorang wartawan media online, Junaidi Marpaung, Labuhan Batu, Sumatera Utara, dibakar orang…