Opini

Jangan Ingkar & Mangkir Atas Pulau Aceh Singkil

IndonesiaGlobal.Net
×

Jangan Ingkar & Mangkir Atas Pulau Aceh Singkil

Sebarkan artikel ini
Jangan Ingkar & Mangkir Atas Pulau Aceh Singkil
Adnan NS. (Dok Istimewa)

Penulis: Adnan NS – Mantan Ketua Pansus Ambalat dan Perbatasan Negara DPD RI 2009

“Sekali Aceh, tetap Aceh. Titik.”

INDONESIAGLOBAL – Aceh tidak pernah mengemis, apalagi menangis. Tapi jangan salah tafsir terhadap sikap terbuka kami. Keterbukaan bukan berarti kelemahan. Aceh menerima siapa saja, kapan saja, dan di mana saja—tapi jangan pernah coba-coba mengusik harga diri dan tanahnya.

Simbol keterbukaan Aceh tergambar dalam tari ranub lampuan—tarian penyambutan tamu yang sakral dengan sirih sebagai lambang kehormatan. Aceh itu pemberi, bukan peminta. Bahkan dalam sejarah, Aceh memberi nyawa dan harta untuk republik ini: dua pesawat Dakota D-3 disumbangkan untuk perjuangan kemerdekaan. Dalam perang Medan Area, Aceh berdiri paling depan demi membebaskan Sumatera Timur—kini Sumatera Utara—dari cengkeraman kolonial.

Aceh tidak sekadar terikat pada tanah dan batas administratif. Ia terikat oleh adat, martabat, dan sejarah yang diwariskan turun-temurun. Maka, jangan sekali-kali mangkir dan mengingkari komitmen yang telah ditegaskan para tokoh besar masa lalu, seperti Gubernur Sumut Raja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, yang pada 1992 telah bersepakat: Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan Lipan adalah wilayah sah Aceh.

Kini, muncul generasi baru dari provinsi tetangga yang tiba-tiba merasa punya hak atas pulau-pulau itu. Dasar klaimnya pun ganjil—mengubah nama dalam dialek lokal mereka, seperti “Gadang” dan “Ketek,” seolah hendak menciptakan sejarah baru yang tak pernah ada. Tapi sejarah tidak bisa diutak-atik semudah itu. Di masa kolonial Belanda, keempat pulau ini masuk dalam peta Keresidenan Aceh, Afdelling Singkil. Di masa Jepang disebut Gonsu. Pasca-kemerdekaan, wilayah ini menjadi Kewedanaan, lalu Perwakilan Kabupaten (Perwakab), hingga resmi menjadi Kabupaten Aceh Singkil pada 1999. Keempat pulau itu selalu tercatat di bawah Aceh.

Peta lama dan dokumen sah seperti UU No. 24 Tahun 1956 yang menetapkan kembali Provinsi Daerah Istimewa Aceh memperlihatkan dengan tegas: pulau-pulau tersebut berada di wilayah Aceh, bukan di tempat lain.

Jadi, salah siapa? Dosa siapa?

Ayah saya dulu pernah berkata dalam Bahasa Aceh: “Leupah jak riwang, leupah cok pulang.” Kalau sudah salah arah, pulanglah ke tujuan semula. Kalau terlanjur mengambil milik orang, kembalikanlah. Jangan jadi pencoleng berlidah manis.

Di Aceh, sampai dekade 1980-an, masyarakat hidup tanpa pagar batas kampung. Tapi meski terbuka, kami paham sopan santun. Kalau masuk ke tanah orang, minimal beri salam, bukan main serobot. Lantas, dalam kasus klaim sepihak ini: adakah kesepakatan awal? Ataukah ini memang upaya diam-diam mencaplok dengan modal kekuasaan pusat dan restu kementerian?

Munculnya keputusan sepihak dari kementerian justru menimbulkan tanda tanya besar. Undang-undang tak bisa dibatalkan hanya oleh keputusan seorang menteri. Ini mencederai asas hukum. Anehnya, setelah mencaplok dan mengklaim, mereka justru datang menawarkan kerja sama. Betapa lucunya etika ini. Ibarat merampas istri orang, lalu menawarkan poliandri agar sama-sama senang. Tidak hanya tak tahu malu, tapi juga kehilangan tata nilai.

Kami bukan penonton sejarah, kami pelakunya. Kami tak mengemis wilayah, kami menjaganya. Jangan main-main dengan sejarah, adat, dan kehormatan.

Wartawan Jangan Dibodohi Teknologi AI
Opini

Dua jalan bercabang. “AI cepat saji” tapi penuh jebakan, satu jalan “Jurnalistik sejati” dengan cahaya kebenaran. Di tengah derasnya arus…