Opini

Ketika Sejarah Jadi Senjata Politik, Dominasi Eks Kombatan GAM di Aceh

IndonesiaGlobal.Net
×

Ketika Sejarah Jadi Senjata Politik, Dominasi Eks Kombatan GAM di Aceh

Sebarkan artikel ini
Ketika Sejarah Jadi Senjata Politik, Dominasi Eks Kombatan GAM di Aceh
Ilustrasi Eks Kombatan GAM. (Dok Ist)

Oleh: Sanusi, Pemerhati Sosial-Politik Asal Aceh Jaya

Sejak Perjanjian Damai Helsinki 2005, Aceh menjadi laboratorium unik dalam politik pasca-konflik. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak hanya meninggalkan senjata, tetapi bertransformasi menjadi aktor dominan dalam arena politik lokal. Dari Gubernur, DPRA, Kepala daerah Kabupaten Kota, hingga DPRK, eks kombatan tampil sebagai kekuatan utama, termasuk dalam kontestasi Pilkada 2024.

Fenomena ini menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan tidak semata-mata dibangun lewat prosedur elektoral formal. Mengutip Max Weber, kekuasaan juga lahir dari legitimasi historis dan moral. Di Aceh, eks kombatan membawa modal simbolik dari sejarah perjuangan bersenjata, yang kemudian dikonversi menjadi modal politik elektoral.

Hal ini sejalan dengan konsep modal simbolik Pierre Bourdieu sejarah perjuangan menjadi sumber kehormatan dan kepercayaan publik. Dukungan masyarakat bukan sekadar soal program politik, melainkan keterhubungan emosional, loyalitas historis, dan ingatan kolektif yang masih hidup kuat di masyarakat pasca-konflik.

Menariknya, dominasi eks kombatan tidak hanya melalui partai lokal. Mereka juga menjelajah jalur independen dan partai nasional. Ini menandakan fleksibilitas strategi sekaligus bukti bahwa kekuasaan pasca-konflik tidak terbatas pada wadah formal, tetapi mengakar pada jaringan sosial dan memori kolektif.

Namun, dominasi ini tidak lepas dari dilema. Seperti diingatkan oleh Francis Fukuyama, transisi dari pejuang menjadi penguasa tidak otomatis menjamin tata kelola demokratis. Ada risiko bahwa kekuasaan yang lahir dari sejarah justru menekan pluralitas, memperkuat jaringan eksklusif, dan mengaburkan akuntabilitas publik.

Dalam istilah Joseph Nye, kekuasaan eks kombatan di Aceh menekankan soft power berbasis legitimasi sejarah. Tapi kekuatan simbolik ini harus disandingkan dengan mekanisme partisipatif dan transparansi agar tidak jatuh menjadi hegemoni yang menutup ruang kritik.

Aceh pasca-damai adalah contoh nyata bahwa politik tidak pernah steril dari sejarah. Dominasi eks kombatan bukan sekadar konsekuensi elektoral, tapi bagian dari narasi besar tentang bagaimana sejarah konflik diinstitusionalisasi menjadi legitimasi kekuasaan.

Tantangannya kini adalah, apakah legitimasi historis tersebut akan digunakan untuk memperkuat demokrasi, memperluas kesejahteraan, dan membangun tata kelola yang inklusif? Atau justru berbalik menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan jaringan lama?

Aceh mengajarkan satu pelajaran penting bagi studi pasca-konflik, sejarah memang bisa menjadi fondasi legitimasi politik, tetapi ia juga harus terus diuji oleh etika pemerintahan, transparansi publik, dan demokrasi substantif.

Catatan: Opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Wartawan Jangan Dibohongi oleh Pemerintah
Opini

Oleh: Rahmad Wahyudi, Alumni Lembaga Pres Dr Soetomo (LPDS) Dalam lanskap demokrasi modern, hubungan antara pers dan pemerintah selalu berada…

Wartawan Jangan Dibodohi Teknologi AI
Opini

Dua jalan bercabang. “AI cepat saji” tapi penuh jebakan, satu jalan “Jurnalistik sejati” dengan cahaya kebenaran. Di tengah derasnya arus…