Penulis: Muhammad Rain, seniman dan budayawan Indonesia asal Aceh
Jarak antara kemakmuran dengan kehancuran kiranya sangat tipis, keduanya kian dekat apabila membaca kondisi sosial warga negara Indonesia saat ini.
Berbagai kendala terjadi di segi pengkomunikasian suara rakyat yang gagal terhadap ketidakadilan yang harus mereka tanggung sendiri di samping ketidakpedulian wakil rakyat akhirnya mengguncang kesadaran nurani bangsa.
Rakyat bergerak, dipicu oleh sedikit saja percikan api sebagaimana rumput kering di ladang kemarau yang terasa kian panjang; menyambar ketidakadilan.
Saat tuntutan kewajiban tidak sebanding hak yang didapat, rakyat Indonesia lalu masuk pada arogansi pejabat dan wakil mereka sendiri.
Suara ketidakadilan dimaknai secara agresif sekaligus pasif, bahkan dibalas arogansi kekuasaan, rakyat wajib ikut aturan, sebaliknya para oknum pemimpin dan pewakil justru malah mendapat keistimewaan, korupsi dan pelakunya mendapat pengampunan.
Kesenjangan sosial, ekonomi, hukum dan politik yang membelah serampangan sesuai koloni kepentingan akibatkan rakyat menjadi tontonan tanpa tindakan yang tepat dan tangkas.
Penting dicatat pula bahwa rakyat tidak pula meminta lebih, hanya ingin dapat menjalankan kehidupan sehari-hari secara wajar, cukup sandang dan pangan serta layak papan, namun lagi-lagi semuanya itu semacam oase di tengah gurun, mimpi yang tak kunjung tiba.
Eskalasi kekecewaan rakyat selanjutnya menjadi buas dan terlihat kian mendapat angin justru akibat lalai dan pongahnya kekuasaan mendengarkan tuntutan pemilik sah republik.
Hasilnya adalah demonstrasi berlangsung seolah tak dapat dihenti, padahal pimpinan rakyat dan pewakil rakyat dapat mencegahnya jika mau memilih bersikap bijak sehingga dapat pula secara serentak menghentikan langkah demonstran yang umumnya sudah muak dengan kata ‘akan’ dan ‘sabar,’ bahkan kata ‘maaf’.
Di ujung Agustus dan memasuki September 2025 setidaknya tercatat beberapa kota telah alami anarkisme imbas demonstrasi yang tak dapat dibendung secara arif oleh pihak keamanan dan pemilik otoritas.
Situasi terkini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah daerah dan bahkan pemerintah pusat telah kehilangan koordinasi yang sigap guna hadapi ancaman dan sasaran ancangan demonstrasi, untuk tak secara vulgar disebut gagal mengamankan fasilitas publik dan asset rakyat itu sendiri.
Alarm terus dibunyikan, tanda bahwa kian menyala dan mengarah ke krisis yang lebih besar dampak dari eskalasi amuk massa, ini menjadi syarat peningkatan status keamanan dari kuning menuju merah, menyalanya kobaran api gedung-gedung publik di kota-kota Indonesia sebagai warning kasat mata bahwa negeri memang sedang tidak baik-baik saja.
Krisis sosial adalah perkara berulang dan menjadi api dalam sekam. Peristiwa Reformasi tahun 1998 juga menjelaskan beragam keadaan permulaan penyebab memuncaknya krisis Indonesia yang tidak hanya meminta pengorbanan bangsa ini, ia juga sekaligus menjadi simbol kemenangan bangsa ini untuk masih mampu eksis berdiri tegak mereformasi sebagian besar lini demokrasi yang poranda akibat imbas Orba.
Bahkan catatan pengadilan HAM terhadap pelaku serta keadilan bagi korban terus jadi catatan sejarah yang pilu namun penting untuk tetap jadi didikan generasi agar mampu selalu mencamkan bahayanya tindakan-tindakan yang merugikan baik oleh penguasa juga rakyatnya.
Setiap situasi krisis sosial akan hasilkan kekacauan meluas sehingga hukum dan keadilan menemukan ceruknya sebagai pembelajaran dengan aturan baru yang relevan dalam kehidupan berbangsa demi menghadapi masa depan untuk tidak terulang, tetapi apakah saat ini justru kekuasaan sedang memancing repetisi Reformasi ’98?.
Politik dan kekuasaan yang diraih dengan mengorbankan konstitusi negara Indonesia akan hasilkan suasana berkehidupan berbangsa yang timpang, sebab di dalamnya tercampur manipulasi serta tipu-tipu yang dipoles oleh afirmasi media yang condong pada kekuasaan.
Darat dan air negara yang dikuasai secara serampangan demi kepentingan kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan bangsa, hukum dan pengadilan yang dipolitisir, dipoles menurut pesanan penguasa juga yang berduit, juga tumpukan kasus-kasus sosial sebagai cerminan rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara akan dengan sendirinya memunculkan kemarahan rakyat.
Ketidakadilan adalah catatan mendasar runtuhnya persatuan bangsa dan akibatnya juga melemahkan persatuan akibat perselisihan kaum dan golongan di berbagai tingkatan strata sosial, inilah jarum dalam tumpuk jerami, menjadi pekerjaan yang merepotkan bagi pemimpin yang justru tak ada kesanggupan memimpin apalagi untuk disebut ahli strategi.
Politik koloni, politik perkauman dan tebang pilih setelah meraih puncak kekuasaan akan hasilkan perlindungan sepihak dan menyata menjadi ketidakadilan yang sangat transparan.
Kondisi tersebut sangat menelanjang mewujudnya penguasa sebagai budak bagi yang dipertuan, hasilnya menjadikan puncak kekuasaan yang mengkilap seolah nyaris tanpa cacat sebab disasari kekuatan money politics yang mengkerdilkan kejujuran pertaruhan di kancah pemilihan.
Inkonsistensi politik praktis dan perbuatan melindungi sepihak terhadap kepentingan koloni sekaligus memburam bahkan menghapus keadilan sosial sebagai warna republik demokratik yang sepatutnya dijalankan.
Rakyat merdeka yang dapat menyatakan secara santun kehendaknya dalam meraih hak kesamaan perlakuan (keadilan) dianggap tak lagi absolut menyuarakan kekecewaan, rakyat lalu memilih kerumunan yang tampaknya menjadi sapu lidi untuk membersihkan sampah pejabat yang dianggap penghalang bersih-bersih republik.
Rakyat yang parau dan terus dikalahkan koloni politisasi media dan pembungkaman media sosial tetap akan mencari cara sebagaimana air di celah batu cadas, yang menjadikan sekumpulan riak menjadi gelombang menjelma badai, rakyat adalah juga militansi sebagaimana kemerdekaan yang sejarahnya dimenangkan oleh pengorbanan rakyat.
Krisis sosial hanyalah pemicu awal sebagai rentetan kegagalan dari kesanggupan bahkan kemauan pemimpin untuk menjadi pendengar yang budiman, di tangan rakyat kendali atas hak-hak hidup layak dan kewajiban berbanding pelayanan hak yang sesuai akan terus menagih keadilan serta kesamaan perlakuan.
Rakyat adalah cermin pemimpinnya, mereka adalah prestasi sekaligus kegagalan pemimpin yang menjadi tuntunan sekaligus tontonan, sekali bergerak sebagaimana geraknya angin tak terlihat namun mampu memindahkan politik busuk ke tong sampah demokrasi.
Jaring laba-laba hati nurani rakyat senantiasa tetap mampu menjerat sebanyak apapun koloni politik yang justru hendak dipakai sebagai tameng demi melanggengkan kekuasaan palsu yang justru membisu ketika pemilik sah negeri ini telah menyatakan ‘muak.












