Opini

Narasi Aceh Miskin, Propaganda yang Dipelintir dari Realita

IndonesiaGlobal.Net
×

Narasi Aceh Miskin, Propaganda yang Dipelintir dari Realita

Sebarkan artikel ini
Narasi Aceh Miskin, Propaganda yang Dipelintir dari Realita
Foto Ilustrasi

Oleh, Sanusi (Pemerhati Politik Sosial Aceh Jaya).

Selama bertahun-tahun, publik terus disuguhi dengan narasi bahwa Aceh adalah provinsi miskin. Klaim ini dibangun secara sistematis, diperkuat oleh angka-angka statistik yang dipilih secara selektif, tanpa melihat konteks yang utuh. Padahal, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya: geliat ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta bangkitnya sektor pendidikan dan kesehatan di Aceh semakin terasa sejak damai dicapai pada 2005 dan Dana Otonomi Khusus (Otsus) mulai digulirkan.

Narasi “Aceh miskin” sejatinya bukan sekadar laporan statistik, melainkan sebuah propaganda yang sengaja diciptakan untuk membentuk opini publik bahwa perdamaian tidak membawa kemajuan. Tujuannya jelas: mereduksi makna dari perjuangan panjang menuju damai, melemahkan legitimasi pembangunan daerah, dan mempertanyakan efektivitas penggunaan dana Otsus.

Fakta-fakta positif seperti peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tumbuhnya UMKM lokal, serta pengembangan sektor energi dan pertanian sengaja diabaikan. Sebaliknya, angka kemiskinan dipakai sebagai satu-satunya ukuran tanpa memperhitungkan faktor struktural dan historis yang turut memengaruhi Aceh.

Seperti yang dikatakan Noam Chomsky, intelektual publik dan pakar propaganda, “Propaganda is to a democracy what the bludgeon is to a totalitarian state.”
(Propaganda dalam demokrasi berfungsi seperti pemukulan dalam negara totaliter.

Dengan kata lain, narasi seperti ini adalah bentuk kekerasan yang tak kasat mata mengendalikan opini publik dengan membentuk persepsi palsu atas realitas.
Penciptaan opini “Aceh gagal bangkit” pasca damai juga merupakan upaya untuk mengerdilkan keberhasilan transisi dari daerah konflik menjadi daerah damai yang mandiri. Ironisnya, narasi ini kerap diangkat oleh mereka yang tidak pernah menjadi bagian dari proses rekonsiliasi maupun pembangunan. Mereka hanya memotret angka tanpa menggali latar sosial dan historis di baliknya.

George Orwell, penulis yang tajam dalam mengkritik manipulasi informasi, pernah menyatakan “The most effective way to destroy people is to deny and obliterate their own understanding of their history.”
(Cara paling efektif untuk menghancurkan suatu bangsa adalah dengan menyangkal dan menghapus pemahaman mereka terhadap sejarahnya sendiri.)

Inilah yang terjadi pada Aceh hari ini, sejarah perjuangan, luka, dan pencapaian pasca-damai coba dikaburkan melalui stigma kegagalan.

Padahal, di berbagai daerah di Aceh, geliat ekonomi rakyat terus bergerak. Angka kemiskinan ekstrem menurun, desa-desa berkembang, dan masyarakat sipil lebih aktif terlibat dalam pembangunan. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur mengalami kemajuan yang tidak bisa dinafikan.

Dalam konteks ini, kata-kata dari Nelson Mandela menjadi pengingat penting,”Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” (Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia).

Maka, senjata paling penting melawan narasi sesat seperti ini adalah kesadaran, literasi, dan pendidikan masyarakat. Aceh tidak butuh pujian kosong, tapi butuh keadilan dalam narasi evaluasi yang objektif, bukan stigma yang melemahkan.

Aceh telah membuktikan bahwa damai adalah fondasi kemajuan. Mereduksi capaian ini menjadi sekadar cerita kegagalan adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan masa depan Aceh. Sudah saatnya publik menelaah narasi “Aceh miskin” secara kritis dan bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari cerita setengah benar ini.

Wartawan Jangan Dibodohi Teknologi AI
Opini

Dua jalan bercabang. “AI cepat saji” tapi penuh jebakan, satu jalan “Jurnalistik sejati” dengan cahaya kebenaran. Di tengah derasnya arus…