INDONESIAGLOBAL, JAKARTA – Kala itu 1971, roda waktu seolah berputar lambat di bumi Lancang Kuning. Kami baru saja tiba di Pekanbaru kota yang hangat oleh aroma minyak bumi dan angin lembab dari hutan Riau. Tujuan kami sederhana, menuju Duri, sebuah kota kecil yang kala itu menjadi nadi industri minyak. Tapi perjalanan menuju ke sana bukan sekadar perjalanan biasa, ia adalah ujian antara nyali dan nasib.
Perjalanan dimulai dari terminal besar di jalan nangka pinggiran Pekanbaru. Kami menumpang oplet, angkutan jadul dengan bodi gemetar dan suara mesin yang menggeram. Supirnya, lelaki berbadan kecil, namun sangat lincah skill mengemudinya
“Ini harus lintas Sungai Siak lewat jembatan apung lipat yang disediakan PT Caltex Pasific Indonesia,” ujang sang sopir
Nama itu saja sudah membuat bulu kuduk berdiri “Jembatan Apung Lipat Sungai Siak”
Menjelang malam, kami tiba di Bom Baru tepi Sungai Siak. Airnya Coklat hitam berkilat, dalam dan menyeramkan. Di atasnya, terbentang jembatan apung yang bagian bawahnya dilapisi “Ponton” biasanya terbuat dari logam, atau baja ringan berlapis cat anti karat. Jembatan itu bisa “dilipat” dibuka dan ditutup untuk memberi jalan kapal besar yang lewat.
Ketika kami hendak menyeberang, portal tertutup. “Tahan dulu! Jembatan mau dibuka!” teriak seorang penjaga.
.
Di bawah cahaya petromaks, kami menyaksikan jembatan perlahan terbelah dua. Sisi kanan dan kiri seolah otomatis mundur. Dari celah hitam di di tengah, kapal raksasa muncul perlahan, suaranya menggetarkan air. Bau solar dan minyak mentah memenuhi udara.
Setelah kapal lewat, jembatan dibuka kembali, mengeluarkan suara gedebuk berat seperti pintu besi raksasa yang menutup bumi.
Begitu menyeberang, perjalanan belum usai. Jalan menuju Duri bukanlah jalan biasa. Ia hanyalah hamparan tanah yang dilapisi limbah minyak mentah, licin bagai kaca hitam. Bila tersiram hujan, jalan itu menjelma seperti neraka licin.
Hujan mulai turun. Oplet kami bergoyang di tikungan tajam, rem berdecit panjang. Supir Kami berhenti di tengah hutan Minas, sebuah kota kecil yang sunyi, hanya diisi bayangan pohon karet dan suara jangkrik. Supir turun, berlutut di lumpur, memasang rantai pada ban belakang. Tangannya bergetar, tapi wajahnya tetap tenang.
“Kalau enggak pasang ini, kita bisa meluncur ke jurang,” katanya datar.
Beberapa menit kemudian, kami kembali melaju. Jalan bergelombang, menanjak curam lalu turun tajam. Setiap kali menuruni bukit, supir menurunkan porsneling satu. Mobil bergetar, lalu hentak! keras, menahan laju agar tak terperosok.
Di luar jendela, malam tampak seperti gurita hitam, lengannya menjulur ke jalan, menelan cahaya lampu. Tak ada penerangan, hanya gemuruh mesin dan suara rantai yang beradu di roda.
Kami tiba di Duri pukul empat dini hari. Jalan masih basah, kabut menutup pandangan. Kota terakhir yang kami lintasi adalah Dumai. sepi dan dingin, tapi terasa seperti selamat dari perang panjang.
Perjalanan berakhir di pangkalan minyak Sarena Jaya, milik seorang pengusaha lokal berdarah aceh bernama Abdulatif Nyak Waroeng. Di sana, kami disambut aroma kopi panas.
Malam itu kami sadar, perjalanan melintasi Sungai Siak dan jalan minyak menuju Duri bukan sekadar lintasan geografi tapi lintasan sejarah tentang bagaimana manusia dan mesin menaklukkan alam. Jembatan apung lipat itu kini mungkin sudah berganti wujud, tapi bagi mereka yang pernah melewatinya, suara lipatan besi dan arus hitam Sungai Siak akan selalu hidup dalam ingatan.
Kini, jembatan apung lipat legendaris di Sungai Siak itu telah berubah wujud menjadi jembatan tinggi yang megah dan permanen. Ia menjulang gagah di atas arus sungai yang dulu menelan ketakutan. Dari sana, kapal-kapal besar kini lewat tanpa perlu menunggu jembatan terlipat. Tapi di balik gemerlap baja dan beton, tersimpan kisah masa lalu tentang keberanian orang-orang kecil yang pernah melintasi “air hidup” Sungai Siak, di masa ketika setiap perjalanan adalah pertaruhan hidup dan keberanian.












