Oleh: Sanusi, (Pemerhati Sosial-Politik Aceh Jaya).
Wacana pembangunan Terowongan Geurute kembali mencuat setelah tokoh Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menemui Kepala Bappenas RI, Rachmat Pambudy, guna membahas kelanjutan proyek tersebut. Ini menjadi pertanda awal bahwa ada dorongan politik yang lebih serius dan substansial dari Aceh untuk menghidupkan kembali proyek strategis yang telah lama terabaikan.
Gagasan besar ini sejatinya bukan hal baru. Wacana pembangunan Terowongan Geurute sudah bergulir sejak masa kepemimpinan Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah (Abu Doto) pada periode 2012–2017. Saat itu, proyek ini digagas sebagai upaya untuk mengatasi keterisolasian wilayah barat selatan Aceh dan mendorong percepatan pembangunan kawasan pesisir yang selama ini terhambat akses transportasi.
Terowongan Geurute dinilai sangat strategis karena menghubungkan wilayah barat selatan Aceh dengan Banda Aceh dan kawasan timur. Jalur yang saat ini melintasi kawasan perbukitan Geurute merupakan satu-satunya akses darat, namun kondisinya rawan longsor dan sering kali menjadi hambatan bagi distribusi barang dan mobilitas masyarakat.
Karena itulah, pembangunan terowongan ini tidak hanya berdampak pada aspek infrastruktur, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, meski ide ini sudah berjalan lintas periode, realisasinya tak kunjung tampak.
Bahkan pada tahun 2019, Plt Gubernur Aceh saat itu, Nova Iriansyah, menyampaikan bahwa Terowongan Geurute tidak masuk dalam proyek prioritas Pemerintah Aceh. Padahal menurut Nova, proyek tersebut pernah masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan sempat menjadi skala prioritas Pemerintah Pusat. Fakta ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan arah kebijakan dan kurangnya keberlanjutan politik di tingkat daerah.
Proyek sebesar ini tak akan pernah maju jika hanya dibicarakan setiap jelang pemilu, lalu dilupakan setelahnya. Padahal, secara teknis, proyek seperti Terowongan Geurute bukanlah sesuatu yang mustahil. Banyak negara telah membangun terowongan jauh lebih panjang dan kompleks sebagai solusi infrastruktur strategis. Sebut saja Terowongan Seikan di Jepang, yang membentang sepanjang 53 km di bawah laut untuk menghubungkan Pulau Honshu dan Hokkaido.
Di Norwegia, Laerdal Tunnel sepanjang 24,5 km dibangun untuk mengatasi keterisolasian wilayah pegunungan yang terjal dan rawan longsor kondisi geografis yang sangat mirip dengan Geurute. Proyek-proyek itu menjadi contoh bahwa jika ada visi pembangunan yang kuat, didukung dengan kemauan politik, maka tantangan teknis dan geografis bisa diatasi.
Indonesia pun memiliki kapasitas dan sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun proyek serupa, termasuk di Aceh. Yang dibutuhkan hanya satu, komitmen yang berkelanjutan.
Kini, ketika inisiatif kembali dilakukan melalui jalur lobi ke Bappenas, publik berharap tidak sekadar menjadi pertemuan seremonial. Pemerintah Aceh harus menunjukkan keseriusan dengan memperbarui studi kelayakan, menyusun peta jalan pembangunan, serta melibatkan masyarakat dan pakar dalam proses perencanaan.
Keterlibatan aktif pemerintah pusat juga menjadi kunci agar proyek ini tidak kembali tenggelam di tengah perubahan politik nasional.
Terowongan Geurute bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi simbol dari upaya menyatukan wilayah Aceh dan mendorong pemerataan pembangunan. Jika direalisasikan, ia akan menjadi warisan penting yang melampaui masa jabatan siapa pun.
Sudah terlalu lama rakyat Aceh diberi harapan tanpa kepastian. Sudah cukup sering proyek ini diangkat dan ditinggalkan begitu saja. Terowongan Geurute tidak boleh lagi menjadi mitos. Ia harus menjadi kenyataan dan itu hanya bisa diwujudkan melalui komitmen politik yang konsisten, keberanian birokrasi, dan keterlibatan masyarakat luas.
Catatan: Opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.












