Oleh Teuku Sukandi Koordinator Forum Peduli Aceh Selatan (For-Pas)
Dalam adat Aceh, Intat Linto Baro adalah prosesi sakral dan penuh makna. Linto Baro—sang pengantin pria—dalam rangkaian upacara tersebut akan didampingi oleh para sahabat dekatnya. Mereka mengantar, menjaga, bahkan mengiringi setiap langkahnya. Namun ada satu garis batas tidak boleh dilampaui, hanya Linto Baro yang berhak masuk ke kamar pengantin.
Pendamping? Cukup sampai di depan pintu.
Tradisi ini sejatinya indah, penuh filosofi dan tata krama. Tapi yang mencemaskan adalah, ketika pola seremonial ini dibawa masuk ke dalam tata kelola pemerintahan, terutama dalam proses rekrutmen jabatan.
Fenomena ini makin terasa di banyak instansi: jabatan penting bukan lagi didapat karena kompetensi, melainkan karena “ikut rombongan” atau karena kedekatan personal dengan “sang Linto Baro” birokrasi.
Analogi ini memang tajam tapi tepat. Para pendamping dalam prosesi Intat Linto digambarkan seperti para “pengiring setia” calon pejabat. Mereka mengikut, menempel, dan bahkan kadang menekan agar bisa ikut serta dalam “perjalanan” menuju kekuasaan. Persoalannya, berbeda dengan upacara adat yang berbatas jelas, dalam birokrasi batas ini kerap dilanggar. Pendamping bisa ikut duduk di kursi kekuasaan, bahkan tanpa kapasitas yang layak.
Padahal, rekrutmen jabatan dalam pemerintahan adalah amanah konstitusional. Pasal 27 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Rekrutmen birokrasi bukan ruang eksklusif untuk kroni, tetapi ruang terbuka untuk semua warga negara yang memenuhi syarat berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan.
Apalagi, prinsip universal yang ditegaskan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan kesetaraan hak atas jabatan dalam pemerintahan tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, membawa logika Intat Linto ke dalam birokrasi justru merusak prinsip meritokrasi.
Tradisi perlu dilestarikan dalam ruang yang semestinya. Tapi jika nilai-nilainya mulai merasuki sistem pemerintahan modern yang menuntut objektivitas, maka yang terjadi adalah penyimpangan. Kita tidak sedang mengantar pengantin. Kita sedang mengatur negara.
Karena itu, sudah saatnya kita berkata tegas: birokrasi bukan panggung resepsi adat. Jangan jadikan pemerintahan sebagai pelaminan politik yang hanya bisa diakses oleh “rombongan Linto Baro”. Yang kita butuhkan adalah pejabat yang lahir dari proses seleksi yang bersih, transparan, dan berpijak pada keadilan konstitusional—bukan dari hasil pengiringan yang tak relevan.