INDONESIAGLOBAL, LANGSA – Pernyataan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, yang meragukan kedudukan hukum empat pulau di Aceh Singkil, mendapat respons keras dari kalangan aktivis hukum di Aceh.
M Nur, aktivis hukum asal Kota Langsa, menyebut pandangan Yusril sebagai bentuk penyederhanaan masalah yang mengabaikan konteks sejarah, politik, dan yuridis Aceh.
“Yusril tidak cukup memahami kompleksitas persoalan ini. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tetap menjadi pijakan utama untuk wilayah Aceh, dan penetapan batas administratif harus mengacu pada Permendagri Nomor 141 Tahun 2017,” ujar M Nur, Senin 16 Juni 2025.
Dalam Permendagri tersebut, lanjutnya, Pasal 3 menegaskan bahwa batas wilayah harus didasarkan pada dokumen otentik seperti UU pembentukan daerah, peta resmi dari instansi negara, hingga kesepakatan antar-daerah. Artinya, proses pemindahan empat pulau itu ke Sumut tanpa melibatkan Pemerintah Aceh adalah tindakan yang keliru dan cacat prosedur.
Lebih jauh, M Nur menegaskan, Aceh ini memiliki posisi hukum dan sejarah tidak bisa dilepaskan dari MoU Helsinki, perjanjian damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005.
“MoU Helsinki itu bukan sekadar catatan sejarah. Itu komitmen politik dan moral negara. Kalau dilanggar, bukan cuma hukum yang hancur—tapi juga kepercayaan rakyat Aceh kepada negara,” tukasnya tajam.
Ia mengingatkan, bahwa perjanjian damai yang mengakhiri konflik berdarah di Aceh selama tiga dekade harus dihormati, meski tidak bersifat legislatif. Dalam semangat pacta sunt servanda (janji harus ditepati), negara punya kewajiban etis untuk menuntaskan semua butir MoU, termasuk kejelasan batas wilayah dan pembagian hasil sumber daya alam.
“Skema 70:30 Migas untuk Aceh saja belum jelas. Jangan-jangan itu hanya angka di atas kertas. Sementara empat pulau begitu saja ‘dioper’ ke Sumut tanpa musyawarah. Ini bentuk pengkhianatan,” katanya.
M Nur bahkan menuding ada skenario tersembunyi di balik keputusan administratif ini. Ia menyebutnya sebagai cerminan watak lama pemerintah pusat yang tidak peka terhadap luka sejarah Aceh.
“Kalau terus begini, pemerintah pusat sedang bermain api. Kami tidak ingin konflik, tapi jangan paksa rakyat Aceh kehilangan kesabarannya,” tegasnya.
Mengakhiri pernyataannya, M Nur menyerukan agar polemik ini menjadi alarm terakhir bagi Jakarta.
“Cukuplah jadi gaduh. Kembalikan empat pulau itu ke pangkuan Aceh. Selesaikan MoU Helsinki secara tuntas. Itu satu-satunya cara menjaga perdamaian tetap utuh,” pungkasnya.
Editor: Dep