Oleh: Teuku Sukandi Ketua PeTA Aceh
INDONESIAGLOBAL – “Jas post bellum”—keadilan setelah perang—adalah prinsip agung dalam rekonsiliasi pascakonflik. Di Aceh, prinsip itu menjelma dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki: satu kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Finlandia.
MoU itu bukan sekadar dokumen diplomatik. Ia adalah nyawa perdamaian, dasar hukum dan moral yang melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh—sebuah konstitusi lokal yang menjadi jembatan antara luka sejarah dan cita masa depan. Karenanya, tak ada kata lain: MoU Helsinki adalah fondasi sah tata kelola Aceh pasca-konflik, yang harus dijaga, dihormati, dan dijalankan.
Tapi hari ini, fondasi itu sedang digerogoti.
Pernyataan terbaru dari Menko Polhukam secara terang-terangan meremehkan relevansi MoU Helsinki dalam sengketa pengalihan empat pulau Aceh ke Sumatera Utara adalah tamparan keras bagi rakyat Aceh.
Pernyataan itu seolah berkata: “MoU? Itu masa lalu. Lupakan.”
Kalau perjanjian damai yang sakral saja bisa begitu mudah dicampakkan, lantas aturan hukum mana lagi yang dapat dijadikan sandaran oleh Aceh dalam menjalankan pemerintahan yang sah secara hukum dan sejarah?
Lebih menyakitkan lagi, ketika fakta sejarah, bukti-bukti hukum, hingga gelombang aspirasi masyarakat yang bersuara tiap hari melalui media sosial dan elektronik, justru dianggap angin lalu oleh pemerintah pusat. Seolah-olah mereka telah menjadi “summum bukmun umyum fahum laa yarji’un”—tuli, bisu, dan buta terhadap suara kebenaran.
Ini bukan sekadar persoalan empat pulau. Ini soal kepercayaan.
Bagaimana mungkin rakyat Aceh diminta terus percaya pada negara, bila negara sendiri melanggar kesepakatan yang dibuatnya? Bagaimana mungkin Aceh bisa hidup damai, jika keadilan pascaperang terus diabaikan?
Pernyataan pejabat setingkat Menko Polhukam bukan sekadar opini pribadi. Itu adalah sinyal arah kebijakan. Dan jika arah itu menjauh dari semangat MoU Helsinki, maka jangan salahkan Aceh bila mulai mempertanyakan: apakah masih layak kami berharap pada Jakarta?
Kalau keadilan tidak lagi dihargai, dan suara kami tidak lagi didengar, maka jangan heran jika muncul seruan yang lebih nyaring: “Sudah saatnya Aceh mengurus dirinya sendiri.”
Catatan:
Opini ini bukan provokasi, tetapi jeritan nurani rakyat yang merasa dikhianati. Bila Jakarta tak segera memperbaiki arah dan kembali menjunjung MoU Helsinki sebagai kompas moral dan hukum, maka kita sedang menyaksikan peluruhan damai itu sendiri—bukan oleh rakyat Aceh, tetapi oleh negara yang lupa janji.
Editor: Rahmad