Penulis Ahmad Hidayat, SE, Aktivis Simeulue
INDONESIAGLOBAL — Di ujung barat Aceh, ada pulau kecil bernama Simeulue. Bagi sebagian orang, ia hanya titik di peta. Tapi bagi warganya, Simeulue adalah rumah, alam yang damai, dan warisan hidup yang dijaga turun-temurun. Kini, surga kecil itu terluka. Bukan oleh gempa atau tsunami, tapi oleh tangan manusia— diduga membawa bendera perusahaan, menebang hutan lindung, merusak mangrove, dan menyerobot sempadan pantai.
Nama perusahaan itu: PT Raja Marga. Perusahaan sawit yang disebut-sebut membuka lahan tanpa izin resmi. Aktivitasnya merusak ruang hidup masyarakat dan ekosistem yang selama ini menjadi nafas warga Simeulue. Lebih menyakitkan, ketika rakyat bersuara, negara justru tampak diam. Hukum tak kunjung turun tangan.
Kami tak menolak pembangunan. Tapi pembangunan yang meminggirkan rakyat, merusak lingkungan, dan melanggar hukum, bukanlah kemajuan. Itu perampasan. Dan setiap perampasan akan meninggalkan luka panjang.
Ini bukan semata soal sebuah perusahaan. Ini tentang kepercayaan publik yang remuk. Tentang suara rakyat yang tak didengar. Tentang pertanyaan besar: seberapa kuat kekuasaan yang membungkus PT Raja Marga hingga hukum seolah tak mampu menyentuhnya?
Ada yang janggal dalam senyap ini. Pemerintah daerah sudah bersuara. DPRK sudah bereaksi. Tapi tanpa penindakan hukum yang nyata, semua hanya jadi catatan berita yang akan tenggelam oleh waktu. Tidak ada penegakan, tidak ada kejelasan, tidak ada sanksi. Yang ada hanya sunyi. Dan dalam sunyi itu, tumbuh kecurigaan.
Apakah hukum kita benar-benar tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Ataukah diam ini adalah bentuk kompromi yang tak pernah diucapkan tapi dirasakan rakyat?
Kita sudah terlalu sering melihat pola ini. Ketika pelanggaran besar terjadi, dan sistem memilih bungkam. Ketika suara aktivis hanya bergaung di media sosial. Ketika laporan masyarakat menguap tanpa progres. Ketika hukum tampak bisa dinegosiasikan dalam lorong gelap kekuasaan. Ini bukan kasus pertama. Tapi mengapa selalu terulang?
PT Raja Marga, yang sempat ramai diperbincangkan, kini menghilang dari radar. Tanpa penjelasan. Tanpa transparansi. Tanpa proses hukum yang bisa dilacak publik. Padahal, apa yang terjadi di Simeulue adalah cermin wajah keadilan kita hari ini: terluka, tertutup, dan kehilangan nyawa.
Jika pelanggaran ini benar-benar terjadi, dan dibiarkan begitu saja, maka kita sedang membuka jalan bagi ratusan pelanggaran serupa di tempat lain. Ketika satu kasus besar menguap tanpa penyelesaian, maka kita sedang menyemai apatisme. Dan apatisme adalah ancaman nyata bagi demokrasi.
Masyarakat hanya meminta satu hal: kejelasan. Bukan basa-basi politik. Bukan janji rapat koordinasi. Tapi kejelasan hukum. Karena hanya lewat kejelasan, keadilan bisa ditegakkan. Dan hanya lewat keadilan, suara rakyat bisa benar-benar dihargai.
Kita tak boleh diam. Pers, masyarakat sipil, mahasiswa, tokoh adat, semua harus menolak lupa. Harus terus bertanya. Harus terus mendesak.
Keadilan tak boleh menunggu. Dan palu hukum tak seharusnya digantung hanya karena pelaku punya akses pada kekuasaan. Jika hukum bisa dibeli, dan suara rakyat dianggap angin lalu, maka negara ini sedang berjalan mundur ke masa gelap yang dulu pernah kita perjuangkan untuk ditinggalkan.
Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan bukan merupakan pandangan redaksi IndonesiaGlobal. Redaksi terbuka untuk menerima hak jawab dari pihak-pihak disebutkan dalam artikel ini.