IKLAN
Opini

Sengkarut Empat Pulau: Aceh Dirampas, Sumut Diuntungkan?

IndonesiaGlobal.Net
×

Sengkarut Empat Pulau: Aceh Dirampas, Sumut Diuntungkan?

Sebarkan artikel ini
Kemendagri Terbitkan Keputusan Baru Terkait Sengketa 4 Pulau Milik Aceh
Foto Ilustrasi

INDONESIAGLOBAL – Empat pulau di wilayah Aceh tiba-tiba muncul dalam peta administratif Sumatera Utara. Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—selama ini masuk dalam wilayah administrasi Aceh Singkil—mendadak “dipindahkan” ke Kabupaten Tapanuli Tengah versi Kemendagri. Tidak ada perang. Tidak ada referendum. Tapi batas wilayah bergeser begitu saja, seolah Aceh tak berdaulat atas tanahnya sendiri.

Pertanyaannya: Siapa yang bermain di balik layar?

Ini bukan sekadar persoalan garis di atas peta. Ini soal kedaulatan, identitas, dan hak masyarakat Aceh atas wilayahnya. Pulau-pulau ini bukan benda mati. Ada masyarakat adat, ada sejarah panjang perikanan, ada potensi migas, dan tentu, ada keuntungan ekonomi besar. Maka wajar jika publik Aceh geram. Pemerintah Aceh, DPR Aceh, Senator Aceh, hingga DPR RI. Bahkan para tokoh adat, semua serempak bersuara: ini perampasan!

Namun hingga kini, tidak ada klarifikasi resmi memuaskan dari Kementerian Dalam Negeri. Yang muncul hanya lempar tanggung jawab dan jawaban normatif soal “pemetaan ulang”. Padahal, publik butuh transparansi: apa dasar hukum perubahan itu? sejak kapan berlaku? dan mengapa tanpa melibatkan Aceh sebagai pemilik sah wilayah tersebut?

Lebih menyakitkan, kejadian ini bukan pertama kali. Sengketa batas wilayah Aceh dengan Sumut seperti bom waktu yang dibiarkan berdetak tanpa solusi permanen. Dari kawasan perbatasan Subulussalam hingga Aceh Tamiang, konflik serupa terus muncul dan didiamkan.

Aceh memang bagian dari Indonesia. Tapi Aceh juga memiliki kekhususan. UUPA, MoU Helsinki, dan sejarah panjang perjuangan rakyatnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika pemerintah pusat mengabaikan suara Aceh soal wilayahnya sendiri, lalu untuk siapa kedaulatan itu ditegakkan?

Pulau-pulau itu harus dikembalikan!.

Bukan karena semangat primordial, tapi karena itulah keadilan. Pemerintah Aceh tak boleh diam. DPR Aceh harus bertindak lebih dari sekadar mengutuk. Dan masyarakat sipil harus bersatu menjaga hak atas tanah, laut, dan pulau-pulaunya.

Hari ini empat pulau bisa “hilang”, siapa yang menjamin besok Aceh tidak kehilangan lebih banyak lagi?

Padahal sejak 1965, pelayanan publik dilakukan dari Aceh. Bahkan tugu selamat datang, mushala, dan prasasti berdiri kokoh di sana. Lantas mengapa kini berpindah begitu saja?

Sumut menyebutnya legal secara spasial. Aceh menyebutnya: perampasan wilayah.

_“Ini bukan sekadar pulau. Ini soal harga diri dan marwah Aceh.”
— Tgk. H. Marzuki, tokoh adat Singkil._

Apakah empat pulau itu seharusnya tetap milik Aceh?

Empat pulau kecil itu bukan simpul di peta—mereka adalah ruang hidup, sejarah dan identitas. Jika keputusan administratif semata dipaksakan tanpa rasa keadilan, maka seolah NKRI mencabut hak daerahnya sendiri. Aceh butuh lebih dari janji: butuh restitusi nyata, bukan simbolik.

Penulis Redaktur Pelaksana (Redpel) IndonesiaGlobal, Alumni Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta