INDONESIAGLOBAL – BANDA ACEH – Mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMuR) Lhokseumawe, tegas membantah pernyataan Kapolresta Banda Aceh Kombes Fahmi Irwan Ramli yang menyebut bahwa mahasiswa terbukti melakukan ujaran kebencian, permusuhan hingga penghinaan terhadap kepolisian ihwal terpampangnya spanduk bertuliskan “Polisi Biadab, Polisi Pembunuh, negara dan militer pelaku pelanggaran ham”.
Hal itu disampaikan Ketua SMuR Lhokseumawe, Rizal Bahari. Menurutnya, penulisan kata-kata tersebut dilakukan oleh massa aksi lantaran merujuk dari beberapa peristiwa sebelumnya seperti, konflik Aceh dari tahun 1976 sampai 2005 yang menewaskan total 36.000 warga sipil.
Amnesty internasional, Rizal bilang yang hingga sampai saat ini belum mendapatkan reparasi dari negara, dan diperkuat dengan pengakuan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta pada 11 januari 2023, bahwa negara mengakui telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia di 13 peristiwa, salah satunya adalah yang terjadi di Provinsi Aceh.
Apakah itu masih kurang cukup menggambarkan bahwa negara dan militer merupakan pelaku pelanggaran ham?
Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (kontras) menemukan 662 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Kepolisian dalam setahun terakhir. Kontras menyatakan telah menemukan sepanjang Juli 2022-Juni 2023, ada 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri.
Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan korban berupa 187 warga tewas dan 1363 warga terluka, kontras menyebutnya sebagai “kultur kekerasan” yang masih kental di jajaran kepolisian Republik Indonesia, “menurut BBC NEWS INDONESIA”.
Bahkan, selama 10 Tahun jokowi menjabat sebagai Presiden Indonesia tingkat represifitas aparat kepolisian meningkat dengan pesat, Kekerasan aparat terhadap peserta demonstrasi Aksi ‘Reformasi Dikorupsi’ pada tahun 2019, ‘Tolak Omnibus Law’ pada tahun 2020, dan baru-baru ini aksi “Tolak RUU Pilkada” pada tahun 2024.
Rizal mengatakan bahwa aksi tersebut berakibat pada jatuhnya sejumlah korban, mulai dari luka-luka hingga ada yang meninggal dunia, peristiwa kanjuruhan yang membunuh 135 orang dan melukai lebih dari 600 orang, atau peristiwa KM 50 tragedi tewasnya enam anggota Laskar Forum Pembela Islam (FPI).
Apakah masih tidak cukup untuk menggambarkan tindakan brutalitas aparat kepolisian?.
Rizal juga menjelaskan “Sifat brutalisme kepolisian bukan hanya diperlihatkan kepada mahasiswa, tetapi juga kepada masyarakat petani yang mempertahankan hak atas tanahnya, Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sebanyak 2.442 masyarakat telah dikriminalisasi oleh aparat kepolisian dan total ada 72 korban tewas di tengah pusaran konflik agraria.
Selama era Presiden Jokowi menjabat” Dalam laporan tahunan KPA tersebut, juga disebutkan bahwa aparat kepolisian menjadi pihak yang paling banyak terlibat dalam kasus kekerasan di wilayah konflik agraria”.
Sebenarnya ini menjadi beberapa bukti walaupun masih banyak bukti lain yang bahwasanya pihak kepolisian yang digambarkan didalam tulisan spanduk tersebut adalah sebuah fakta di lapangan dan mereka telah melanggar undang – undang No 2 tahun 2002 yang berbunyi ” Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat”. Ungkap rizal
Sebelumnya, di depan Gedung DPRA Banda Aceh, Kamis 29 Agustus 2024 ratusan mahasiswa melakukan protes demonstrasi mendesak DPR menaikkan upah buruh, menyelesaikan konflik Agraria di Aceh dan mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk represifitas aparat dalam menangani massa aksi “Tolak RUU Pilkada” Aksi tersebut berlangsung damai sebelum aparat kepolisian melakukan tindakan repsesifitas dengan pemukulan.
Penembakan gas air mata, kekerasan fisik termasuk dengan menggunakan alat, hingga melakukan penangkapan terhadap 16 massa aksi secara brutal sehingga menciptakan cedera baik fisik maupun psikis kepada massa aksi, hingga beberapa massa aksi terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat mengalami cedera yang cukup serius.
Enam massa aksi ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian terhadap kepolisian, sebenarnya yang harus ditetapkan sebagai tersangka itu bukan mahasiswa tetapi kepolisian itu sendiri sebagai pembunuh. Ujar rizal.
Rizal melanjutkan, Polisi sebagai penegak hukum seharusnya mengayoumi masyarakat, bukan dengan congkak menampakkan sikap acuh dan arogan ketika tampil sebagai penegak hukum.
Sikap anti kritik dan bumper kekuasaan, membuat polisi semakin berani menampakkan sikap-sikap yang tidak terpuji dan selaras dengan tujuannya sebagai penegak hukum.
Hanya satu kata untuk menggambarkan tindakan polisi yang mengawal aksi demonstrasi revisi UU Pilkada yaitu: “brutal”. Kebrutalan ini dilakukan bukan hanya tentang penolakan revisi UU Pilkada namun juga termasuk berbagai bentuk aksi protes lainnya.
Dikarenakan sikap antik kritik yang diperlihatkan oleh Kapolresta Banda Aceh “Kombes Fahmi Irwan Ramli” dan tindakan brutalitas aparat kepolisian dibawah naungan Polresta Banda Aceh dalam menghadapi demontrasi “Tolak RUU Pilkada” di aceh yang menyebabkan beberapa mahasiswa di aceh mengalami tindakan kekerasan fisik maupun psikis.
Bahkan menyebabkan beberapa mahasiswa di aceh dilarikan kerumah sakit akibat benturan benda keras sampai menyebabkan beberapa mahasiswa mengalami bocor kepala, dan penyalahgunaan kewenangan oleh kapolresta banda aceh seperti penangkapan massa aksi yang tidak sesuai prosedur.
kami Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMuR) mendesak dan menuntut Kapolda Aceh, yaitu Irjen Pol Achmad Kartiko untuk mencopot Kapolresta Banda Aceh Kombes Fahmi Irwan Ramli atas perlakuan diskriminatif dan intimidasi kepada mahasiswa serta tidak menjalankan tupoksi kepolisian sesuai UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
“Karena jika tidak, maka brutalitas kepolisian di Aceh salah satu daerah yang pernah mengalami trauma konflik akan menimbulkan gejolak yang besar nantinya di aceh dibawah naugan Kaporesta Banda Aceh Kombes Fahmi Irwan Ramli.” Tutup Rizal. (MAG)