Jendela Parlementaria

Senator Fachrul Razi, Gagas Majelis Pers Aceh

IndonesiaGlobal.Net
×

Senator Fachrul Razi, Gagas Majelis Pers Aceh

Sebarkan artikel ini
Foto: Senator Fachrul Razi, Ketua Komite I DPD RI, menggagas lahirnya Majelis Pers Aceh (MPA), sebagai kekhususan dimiliki di Aceh.
Foto: Senator Fachrul Razi, Ketua Komite I DPD RI, menggagas lahirnya Majelis Pers Aceh (MPA), sebagai kekhususan dimiliki di Aceh. (Dok Pribadi)

INDONESIAGLOBAL, BANDA ACEH – Senator Fachrul Razi, Ketua Komite I DPD RI, menggagas lahirnya Majelis Pers Aceh (MPA), sebagai kekhususan dimiliki di Aceh.

“Lembaga ini boleh bentuknya seperti Dewan Pers di Nasional, atau menjadi institusi menaungi media di Aceh sebagai wujud kekhususan dalam mendukung pemberitaan dalam syariat Islam,” tutur Fachrul, Rabu 10 Juli 2024.

Kata dia, melihat karakteristik daerahnya, Aceh dinilai wajar jika memiliki lembaga semacam Dewan Pers sendiri.

“Sudah saatnya daerah ini memiliki Majelis Pers Aceh yang terus mendukung penerapan Syariat Islam di Aceh menjadi pusat literasi untuk Aceh,” ungkap senator itu.

Hal tersebut, dikatakan Fachrul, saat menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) digelar organisasi Media Independen Online Indonesia (MIO) Provinsi Aceh, di Hotel Kyriad Muraya.

Dalan forum ilmiah mengangkat tema “Peran Media Online di Era Digital Menuju Indonesia Emas”,
Ada dua pembicara.

Selain Senator Fachrul Razi membahas terkait “Ketahanan Digital dan Tantangan Masa Depan Indonesia” ada lagi Musannif, merupakan mantan Ketua DPRK Aceh Besar.

Dia menyampaikan topik “Eksistensi Pers dalam Mengkampanyekan Politik Humanis di Era Digital”.

Pada mulanya, kata Fachrul Razi, ia berbicara persoalan ancaman dan bahaya serangan siber dihadapi Indonesia.

Dalam kegiatan itu, dia mempertanyakan soal sistem pendataan nasional terkesan begitu gampang dijebol hacker. “Bayangkan, sekarang semua data pribadi kita ada di tangan pihak asing,” ujarnya.

Senator asal Aceh itu kemudian menyinggung soal judi online, dan berbagai situs negatif dinilai merusak moral anak muda.

“Seperti link video porno dan game,” tukasnya, untuk permasalahan tersebut, pemerintah pusat harus punya kebijakan yang tegas. “Harus ditutup akses satelit ke negara-negara menyediakan link atau situs negatif tersebut,” kata dia.

Dalam kegiatan itu juga, Pemimpin Umum Harian Rakyat Aceh, Imran Jhoni, saat menanggapi wacana pembentukan MPA disampaikan senator itu, gagasan tersebut disambut positif insan pers hadir pada FGD tersebut.

Pemimpin Umum Harian Rakyat Aceh, Imran Jhoni, mengatakan, Aceh memang butuh regulasi mengatur kelembagaan media.

“Seperti juga sektor lainnya,” kata dia, Aceh pernah memiliki asosiasi jasa konstruksi, dan lain-lain.

Kemudian, Fachrul melanjutkan, bagi Aceh yang menerapkan Syariat Islam, juga perlu regulasi khusus mengatur kebijakan di bidang pers.

“Tidak hanya perbankan syariah, pers juga butuh penataan secara khusus, ucap Senator Fachrul, regulasi bersifat nasional ada sekarang, hanya mengatur pers secara umum.

Sedangkan terkait bagaimana peran pers dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai Syariat Islam, ujar senator itu, belum ada regulasi mengaturnya.

“Sebab itu, saya menilai sudah saatnya Aceh memiliki MPA. Majelis Pers Aceh,” imbuh ketua Dewan Pembina MIO Indonesia, Provinsi Aceh tersebut.

Selain itu, dia menjelaskan, bahwa Majelis Pers Aceh ke depan, dapat berfungsi dalam menselaraskan kemerdekaan pers di Aceh, dan menjaga penerapan syariat Islam.

“Dan menjadi mediator terhadap penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus berhubungan dengan pemberitaan pers, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam meningkatkan profesionalitas dan kapasitas profesi kewartawanan,” katanya.

Ke depan, tambah Fachrul, bukan hanya MPA, tapi Gedung MPA akan menjadi Media Center Aceh, terhadap pemberitaan positif dan pusat Literasi untuk Aceh,” tutupnya.

Dalam FGD setengah hari itu, dipandu Dr Usman Lamreung, akademisi asal Banda Aceh. Sementara yang menjadi peserta, selain pengurus dan anggota MIO seluruh Aceh, ada para awak media lainnya, serta kalangan civil society, dan sejumlah perangkat desa. (*)