INDONESIAGLOBAL, BANDA ACEH – Setelah aksi mutilasi Penyu di tahun 2023 belum jelas penanganan hukumnya, pekan lalu kembali terjadi aksi penangkapan terhadap mamalia laut serupa, dalam satu sampan di perairan Pulau Banyak Aceh Singkil.
Salah satu Tokoh Masyarakat kepulauan itu, Tan Guru kepada IndonesiaGlobal, di Zakir Coffee, Sabtu 6 Juli 2024, meminta Kapolda Aceh, turut mencurahkan perhatian terhadap aksi illegal penangkapan satwa laut dilindungi ini.
Sebagai warga setempat, dia mengaku sangat prihatin melihat aksi liar dari tahun ke tahun ini, terkesan tidak pernah terjangkau “Jaring” hamba hukum.
Kata dia, kita pun semua tahu, jika kawasan gugusan Pulau Banyak, banyak memiliki potensi alam laut dilindungi.

“Kekinian, satu persatu jenis mamalia langka ini mengalami kepunahan.” Tahun lalu, ungkap Tan Guru, beberapa terokom dan fiber berisikan penyu terpotong (mutilasi) siap dilarikan, juga ditemukan warga dan diserahkan ke pihak aparat kepolisian setempat.
Namun, hingga kini, warga setempat tidak mengetahui proses hukumnya hingga di mana? Kata Tan Guru, kawasan Pulau Banyak sebagai salah satu wilayah terluar NKRI ini, seperti “Negeri tak bertuan”.
Dia menilai, banyak sisi penyelesaian terhadap pelanggaran hukum yang tidak diketahui warga.
“Sebagai kawasan terluar ini, kadang banyak disinggahi kapal asing yang tidak diketahui maksud dan tujuannya,” kata dia.
Selain itu, menyinggung tentang mamalia laut sudah tak ditemukan lagi, yakni kerang raksasa (Kimo), lebarnya mendekati satu meter, tripang raksasa dan jenis kecil, kini mulai jarang ditemui.
Hal ini terjadi, menurut Tan, sejak beroperasinya pukat trawl dan pengeboman ikan dan biota laut lainnya, diduga dilakukan para pemburu liar dari luar daerah ini.
Tan Guru menjelaskan, Pulau Banyak ini sejak berabad silam terkenal sebagai pulau aneka biota laut, khususnya jenis penyu hijau tidak dimiliki dunia lainnya.
Aneka jenis Penyu di sini kata Tan, ukuran bervariasi. Uniknya lagi, penyunya bertelur sepanjang masa, berbeda dengan penyu wilayah lain seperti di Pulo Aceh, dan pesisir lain umumnya bertelur pada musim tertentu, seperti pada bulan Desember, Januari dan Februari saja.
Dulu, ujar Tan, pulau ini terkenal sebagai “Kampung” lobster (Udeueng Tima) udang laut, serta aneka jenis ikan lainnya.
“Sayangnya, sebagian telah punah.” Sangking banyak biota melata bertelur di darat, sehingga ada yang menyebut Pulau Penyu.
Tan juga menjelaskan, jika telur penyu besar dan kecil banyak diperdagangkan hingga ke Nias, Sibolga, Sumut dan daratan Padang, Sumbar. Sejak adanya perdagangan telur mamalia amvibi ini di Indonesia, beber Tan, justeru induknya kini yang diburu untuk di cincang, sebagai hidangan sedap di berbagai restoran wilayah Sumatera.
Sementara Aceh, sebagai wilayah Syariat Islam, diharamkan mengkonsumsi daging penyu. Tetapi, secara agama Islam tidak diharamkan khusus santapan telurnya saja, tutup Pak Tan Guru, sapaan akrabnya.