“SENIN 24, Selasa 25 dan Rabu 26 Juni 2024, Saya sedang berada di kampung halaman, Krueng Sabe, Aceh Jaya, hingga hari itu, Jumat 28 Juni 2024.”
Tiga petang berturut-turut dan pagi harinya, dari pucuk durian tinggi di atas bukit belakang rumah saya itu, terdengar suara lengkingan burung elang.
“Konon katanya, lengkingan itu sebagai tanda-tanda alam.” Hati saya agak galau, dan bergumam? Ada apa gerangan, dan siapa pula salah satu keluarga atau teman dekat bakal dipanggil Allah SWT, ucap saya.
Meskipun tidak boleh dipercaya, tapi kadang kala simbol alam dari lengkingan burung elang, itu sering menjadi kenyataan dalam kehidupan. Seiring erat hubungannya dengan orang meninggal.
Hal ini sempat Ku pertanyakan pada Novi Meliyanti putri sulung saya. Meski dia diam membisu Wallahualambissawab??
Siang itu saya sedang menunggu jemputan bus L-300 menuju Banda Aceh, untuk keperluan rutinitas mengajar di Unida pada setiap Jumat petang.
Hp agak berputar terus di meja makan, akibat getaran masuknya WhatsApp. Kala itu jarum arloji di rumah menunjukkan pukul 10.38 WIB. Hari itu saya baru menyentuh hand phone android agak sedikit kesiangan.
Sebelum membuka grup WhatsApp Forum Wartawan Waspada, mata saya langsung menangkap sebuah notifikasi aslinya, menempel di layar luar:
“Alfatimah…Innalillahiwainnailaihirojiun, almarhum orang baik, wartawan berdedikasi tinggi, kritis demi kebenaran dan keadilan menegakkan kebenaran amar makruf nahi mungkar, srmoga Husnul khatimah, Kel yg ditinggal diberi ketabahan.” isi tulisan dari sosok tak asing, Haji Sofyan Harahap, Wapemred Waspada.
Message di atas masih blind. Tak menjelaskan siapa gerangan yang dimaksudkan sudah menghadap sang chalik itu? Boleh jadi Sofyan, rekan seangkatannya mengalami shock atau keterkejutannya. Lalu buru-buru mengetik pesan duka atas kepergian sahabat kentalnya itu sehingga terketik Alfatimah(bukan Alfatihah). Kedua terketik srmoga, semestinya semoga……
Lalu, hasrat keingintahuan saya semakin menggebu. Secara intra personal hati saya pun bertanya. Siapa gerangan dimaksudkan itu? Saya geser lagi layar android ke atas.
Alangkah terperanjatnya, melihat nama jelas H. Akmal Ali Zaini telah pergi untuk selamanya. Alm.Tentu ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan kegalauan saya mendengar lengkingan si burung elang itu.
Akmal AZ, panggilan akrabnya, suami Fatmawati dan ayah dari empat putra serta Atok dari 10 cucu ini telah menghadap sang khalik.
Tepatnya waktu itu pukul 09.50 WIB. Sebelumnya tidak ada firasat buruk, dan tidak ada berita tentang kondisi kesehatannya itu.
“Innalillahiwainnailaihirajiun.” Selamat jalan menuju syurga Jannatunnaim wahai kolega baik kami. Guru kami, teman diskusi kami, teman senda gurau dan redaktur berdedikasi, berdisiplin tinggi dan loyalis surat kabar Waspada.
Kepergian Akmal AZ, bukan saja kehilangan bagi keluarga dan kerabat dekatnya saja. Tapi juga kehilangan seorang sosok Redaktur Senior Media Online IndonesiaGlobal. Net, di bawah naungan PT Indonusa Global Media.
Tak disangka kalau Akmal dan isterinya Fatmawati ikut menghadiri milad ke tiga IndonesiaGlobal, dipusatkan di Pulau Weh Sabang tahun lalu. Di luar dugaan, kehadirannya ke Sabang itu pada peringatan media ini untuk pertama dan terakhir pula. Selamat jalan wahai sahabat setia kami.
“Engkau sangat berjasa dan luas pemikiran dan sangat toleran serta berlapang dada sesama wartawan di mana pun dan kapan pun, suka berbagi ilmu sesama tak terkecuali dalam membimbing junior atau kadernya.” Semoga Allah SWT akan membalas kelapangan hati mu selama ini, dengan kelapangan hamparan kuburan mu. Amin.
Engkau juga telah meletakkan dasar-dasar “keredaksian kecil” di Aceh tempo hari. Untuk menjadi daya tarik dan rasa memiliki surat kabar bernuansa ke-Aceh-an, kami dulu sepakat membukaan kolom sintilan “Cutiet Bacut”(cubit sedikit). Kolom “Boh Rom-Rom Buleuen Puasa (Onde- Onde Bulan Puasa), serta kolom Aceh Singkat.
Kebaikan dan jasa baik mu tetap kami kenang sepanjang masa, dan ilmu engkau bagikan kepada para wartawan, menjadi sadaqah jariah akan terus mengalir sepanjang masih berguna untuk orang lain.
“Kita boleh sudah tak bisa bertatap muka lagi, namun kenangan masa hidupnya sulit kami lupakan.”
Akmal AZ, kelahiran Medan 20 Oktober 1955 berkerja di Surat Kabar Harian Wspada sejak 1977. Setamat STM Medan dari job paling rendahan sebagai corector, lay outer, hingga menjadi redaktur rubrik Daerah Istimewa Aceh, redaktur siang dan malam secara silih berganti anda tekuni.
Usia almarhum dengan saya, betaut kisaran dua bulanan. Saya lahir Ahad 14 Agustus 1955, diterima kerja di Harian Waspada 29 September 1980. Begitu pun, kami sering sesisian cara pandang dari dulu hingga akhir hayat di kandung badan.
Kami sering berpartner dalam tugas liputan dan pengembangan pemasaran. Terutama ketika saya dipercayakan menduduki job Staff Khusus Pemimpin Umum (PU) Waspada 2010-2022. Kami menerobos hutan belantara dengan Grand Max, hingga harus bermalam di hutan akibat pecah ban. Bersamanya, kami mengitari lingkaran nol Aceh-Medan dengan mengitari ruas jalan mirip sirip ikan.
Itu kami lakukan persis setahun pasca tsunami. Kondisi jalan buruk dan setiap sungai harus diseberangi dengan rakit pelayangan terbuat dari kayu.
Akmal A Z ini merupakan sosok wartawan low profile, wartawan tulen yang tak pandai berneko- neko. Sifat membimbing, mengedukasi dan memotivasi para juniornya tanpa pilih kasih dilakukan dengan kesabaran.
Makanya rekan-rekan wartawan Waspada di Aceh dan Sumut, sangat merasa kehilangan begitu mendapat berita kepergian sosok sang redaktur ini.
Konon, meninggalnya tergolong tiba-tiba tanpa didahului masa kesakitan panjang. “Ayah tidak sakit om, cuma mengalami tekanan asam lambung sekitar Kamis malam, dan pada Jumat paginya mengalami kedinginan luar biasa, hingga akhirnya menghembus nafas terakhir tanpa pesan,” tulis Mursal Alfa Iswara via WhatsApp.
Keharuman nama Ayah empat orang putra (Imran Faisal, Iskandar Muda, Mursal Alfa Iswara dan Afriandy) tidak hanya di kalangan wartawan Waspada saja. Bagi wartawan lainnya di Aceh, namanya sangat tidak asing tentang sosok almarhum ini.
Selain murah senyum, Akmal Ali Zaini Piliang ini pernah menjadi Kepala Perwakilan Harian Waspada Banda Aceh 1983-1986. Almarhum menggantikan Zainal Arifin alias Papa Finpin. Jabatan ditinggalkan almarhum diisi Zulfan Idris.
Seiring keakraban dan keterpautan rasa emosional ke-Aceh- annya, nama Sultan Aceh pun ditambalkan untuk putra keduanya. Putra ketiganya Mursal Alfa Iswara juga kelahiran Banda Aceh.
Ibarat reuni, Akmal dan keluarga besarnya termasuk para menantu, cucu sering diboyong berkeliling Aceh. Selain menikmati keindahan alam Aceh, sekaligus bernostalgia sambil makan dan mencemplung diri dalam kebiruan air laut Ulee Lheue, Ujong Batee, Lhoknga dan Lampuuk.
Ketiga lokasi ini yang hampir saban pekan dikunjunginya, selama tiga tahun stay di Tanah Rencong.
Pada masa Almarhum memimpin, Perwakilan Waspada, kantor surat kabar tertua di Sumatera ini mulai bersinar dan sering ramai dikunjungi wartawan lainnya. Halaman kantor di Jalan Cut Nyak Dhien (Muhammad Daudsyah) belakang SMEP kala itu, bak bursa seluruh surat kabar dan majalah terbitan Jakarta dan Medan.
Atas usulannya, hasil rapat kami management Kantor Pusat Jalan Soeprapto 1 Medan ikut tmemfasilitasi kenderaan khusus roda empat jenis Colt 2-T untuk keperluan antar jemput koran dari Bandara Blang Bintang-Banda Aceh.
Kenderaan mini bus cilik dan ramping merek Honda eks dr. Rayati Safrin, sebelumnya menggunakan penggerak geer rantai besar, tak mampu mengangkut koran dalam jumlah besar.
Dari pojok “China Town” Peunayong, media massa cetak didistribusikan ke berbagai sudut kota Banda Aceh dan Aceh Besar hinggga ke Kota Jantho. Ini semua berkat peran besar para sub agen dan ankor (Anak Koran). Surat kabar bertiras terbesar di Aceh masa itu. Surat kabar lokal Serambi Indonesia, baru terbit perdana 9 Februari 1989. Pangsa pasarnya merajai hingga pelosok desa se-seantero Aceh saat itu.
Masih di bawah kepemimpinan Piliang ini, kami (Akmal AZ, M. Yusuf USA, Ismail M. Syah dan saya), pada 1986 sepakat mengusulkan pembelian Ruko untuk kantor redaksi kecil dan kantor pemasaran Waspada Aceh.
Kebetulan Asrama panggung Gajah Putih Kodam Iskandar Muda kontruksi kayu sedang berproses tukar guling assets dengan pihak swasta. Harga ruko masa realisasi 1987 itu jika tak salah, sekira Rp165 jutaan atau setara 1.000 mayam atau 3.300 gram emas masa itu. Ini dinego dan dihandle langsung agen tunggalnya M. Yusuf USA, sapaan akrabnya Mayu.
MelIhat besarnya pasar koran ini, Surat kabar Sinar Pagi terbitan Jakarta mencoba berekspansi menjadi Sinar Pagi versi Aceh. Artinya surat kabar dengan lay out dan isi materi yang sama, diicetak ulang di Medan pada sore harinya. Hari dan tanggalnya dirubah untuk keesokan harinya. Seolah-olah itu koran pagi di Aceh. Bukan hasil manipulir hari dan tanggalnya.
Malamnya dari Medan-Aceh diangkut dengan Bus PMTOH. Persis pagi harinya telah beredar di Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh. Sementara Waspada, diangkut siangnya dengan maskapai Garuda Air Ways siang (GIA).
“Tentunya hal itu membuat Akmal berang, dan menugaskan saya untuk menyelidiknya bagaimana proses masuknya surat kabar jalur tikus ini.” Muhammad Said, Tokoh Pers dan Pendiri Waspada ikut mencela praktik jahat ini, dan melayangkan protes keras kepada pihak SPS Pusat, hingga peredaran koran via “lorong gelap” itu harus dhentikan seketika itu juga.
Suami Fatmawati ini, adalah putra dari tujuh bersaudara pasangan Ali Zaini Asmah. Tak banyak yang tahu kalau mereka berasal Koto Pilliang, Singkarak, Sumatera Barat.
Di antara tujuh bersaudara ini, dan ortunya tak satu pun menambalkan gelar Pilliang. “Entahlah, pokoknya tidak ada yang menggunakan gelar itu,” sebut Akmal, begitu mengetahui saya baru kembali dari perbukitan Desa Suliak Ayi 2019 lalu.
Akmal dan saya merencanakan perjalanan Travelling khusus dua tahun mendatang ke Balai Gadang Adat si Mawang Perdamaian Koto Pilliang Langgam nan Tujuah, Sumbar. Namun cita-cita itu tinggal cita- cita, kini dia telah tiada.
Editor: WAH