INDONESIAGLOBAL, BANDA ACEH – Hutan Kota Tibang, atau dikenal dengan nama Hutan Kota BNI, adalah salah satu destinasi wisata hasil kerja sama antara Pemerintah Kota Banda Aceh, Bank BNI dan masyarakat Tibang.
Pada 29 November 2010, Pembangunan lokasi itu, dibangun atas inisiatif Wali Kota Banda Aceh saat itu, yakni Mawardy Nurdin (Almarhum) diresmikan oleh Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal, pada 12 April 2016.
Bagi masyarakat ingin menuju lokasi dimaksud, sangatlah mudah. Di hutan buatan seluas 7,15 hektar, diresmikan Presiden SBY tersebut, bisa diakses melalui jalan utama Banda Aceh, menuju arah Krueng Raya.
Sebelum melewati Jembatan Alue Naga, hutan kota ini berada tepat di samping Kampus Ubudiah. Kemudian berbelok sedikit ke kiri, dengan jarak sekira 50 meter dari badan jalan besar.
Saat memasuki area ini, wisatawan hanya perlu merogoh kocek parkir Rp2 ribu, untuk masuk ke dalam taman, setelah itu tidak ada pungutan biaya apapun, alias gratis.
Saat pertama kali saya menjejakkan kaki di taman hutan berlokasi di Jalan Hutan, Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Sabtu 8 Juni 2024, suasana alam langsung terasa berbeda.

Semilir angin dan udara sejuk membawa perasaan hati sangat damai, ditambah kicauan suara burung dan angin menerpa wajah, suasana penatnya keramaian kota serta polusi udara, langsung sirna di tempat ini.
Dalam suasana hening dan tentram, beragam gundah gulana hatipun turut sirna. Panasnya terik matahari, seketika berubah dengan semilir angin, dipadu suasana asri alam taman ini.
“Seakan-akan kita ‘Terhipnotis’ oleh suasana alam disuguhkan di sini,” tutur saya dalam hati.
Usai memarkirkan kendaraan roda empat berkelir putih saya tumpangi, langkah kaki saya menuju arah gerbang berupa jembatan mungil berbentuk oval, berkelir orange dan biru pada tiang-tiang, di bawahnya tampak sepetak kolam buatan.
Sayangnya, kolam itu terkesan kurang terurus, dengan warna air hijau lumut dipenuhi sampah.
Namun, beriak air di kolam itu menandakan masih adanya habitat mahluk hidup, berupa ikan-ikan kecil dan hewan air lainnya.
Saat kita memasuki kawasan pusat hutan kota ini, jembatan mungil itu, ibaratkan “Gerbang” yang akan menghantarkan kita menuju “Alam lain”. Dari susana penatnya kota dan polusi udara, di sini kita mendapat ribuan udara segar berasal dari segala penjuru, serta keheningan alam, dan hanya terdengar kicauan suara burung saja.
Sebelumnya, pada lokasi parkir kendaraan, diseberangnya terlihat dua ekor kuda sedang merumput bewarna putih dan coklat.
Beranjak sedikit ke dalam, mata pengunjung akan dimanjakan dengan aneka jenis tanaman yang membuat hutan ini terasa teduh, karena dipenuhi pepohonan tumbuh rimbun, disertai beragam jenis bunga.
Adapun salah satu pohon tampak berjajar di taman kota itu, seperti Trembesi (Samanea Saman). Pada salah satu parasati tertulis, pohon itu ditanam oleh Almarhum Ibu Negara Republik Indonesia, yaitu Hj. Ani Bambang Yudhoyono pada 29 November 2010.
Bukan hanya itu saja, dalam lokasi taman terdapat makam berusia ratusan tahun. Bahkan, salah satu petugas parkir bertubuh gempal, usia sekira 50 tahun, berkulit hitam itu menyebutkan, usia makam sudah mencapai ribuan tahun, peninggalan dari masa kerajaan Aceh.
“Lokasi ini dulunya tambak, sebelum menjadi seperti saat ini. Makam itu sudah ada sejak dulu, dan posisinya berada di tengah tambak.” Namun terkait usia pastinya, ia mengaku tidak tahu. “Yang pasti, makam itu sudah ada sejak zaman kakek-kakek saya, mamak saya saja saat ini sudah berumur 90 tahun.”

Selain makam itu, dulu di sebelah sana, ujar dia, sebelum tsunami juga ada makam lama, disebut sebagai makam Tengku Meulagu.
“Tapi sekarang sudah hilang akibat bencana alam. Makanya, makam ada saat ini, disebut sebagai makam bersejarah,” akhir pria itu, mengaku sebagai waris pemilik tanah awal.
Untuk diketahui, di hutan kota ini, sudah ada 25 spesies burung menghuni Hutan Kota Tibang. Jadi tak heran, jika para pengunjung sering melihat kawanan burung terbang ke sana, kemari. Dari dahan satu, ke dahan pohon lainnya.

Melangkah lebih ke dalam lagi, pandangan mata kita akan menemukan ruang bermain ramah anak, dilengkapi aneka ragam permainan disukai para bocah.
Tampak, beberapa ibu rumah tangga sedang menunggu para bocah, sembari menyuapi makan anaknya.
Seperti dilakukan salah satu pengunjung, Deswita, 38 tahun, mengaku warga sekitar, saban siang atau petang, sering menghibur anak-anaknya di taman ini.
“Selain tempat sangat sejuk, di sini tempatnya gratis. Tidak ada dipungut biaya apapun,” kata ibu rumah tangga mengenakan paduan baju terusan berwarna cerah, dipadu jilbab motif bordir daun warna hitam.
Usai bertemu salahsatu pengunjung, saya pun melangkahkan kaki lebih ke dalam lagi. Di situ terlihat salahsatu pengunjung laki-laki, usia sekira 50 tahun, mengenakan baju warna abu-abu, dan topi pet hitam tengah duduk santai pada satu bangunan kayu berkelir hijau.
Seraya melepaskan lelah, saya menyapa dan menanyakan asal darimana? Dan apa membuat dia tertarik ke tempat ini.
Kata dia mengaku dari Bireun, ketertarikannya ke sini, suasana alamnya hening, dan tempatnya indah, banyak pohon-pohon dan kicauan suara burung, sangat jarang kita temukan di kota.
“Selain itu, semilir angin di sini, sangat segar. Udaranya di sini, membuat penat pikiran kita berangsur hilang seketika.” Tapi sayang, dia menilai banyak hal perlu diperhatikan lagi di taman ini.

“Termasuk perawatan fasilitas telah ada.” Seperti jembatan tajuk itu, tunjuk dia. “Terlihat sudah mulai keropos sisi kanan kirinya, lantai pun satu persatu sudah mulai rusak dimakan waktu,” ujarnya.
Padahal, dari atas jembatan itu, pengunjung berkesempatan melepaskan pandangan dengan leluasa, karena ketinggiannya mencapai sekira 25 meter.
Di posisi ini, pengunjung dapat melihat keanekaragaman hayati dari atas, bisa melihat berbagai variasi tajuk dari berbagai pohon.
Selain itu, kata dia, juga terdapat sebuah jembatan di atas rawa bakau. Dari atas jembatan, pengunjung sering berswafoto sekedar mengabadikan moment berkunjung ke lokasi ini dengan latar hutan bakau.
“Tapi ya sama saja, sudah mulai usang dimakan waktu. Jembatan itu juga mulai rusak satu persatu,” katanya.
Senada pengunjung tadi, sekelompok mahasiswa dan siswi Universitas Bina Bangsa Getsempena, mengenakan Almamater warna biru cerah, berharap tempat ini harus lebih diperhatikan lagi, ujar mereka.
“Kami sering kemari untuk mencari inspirasi, termasuk membuat video-video konten kreator.” Sebab itu, kami berharap tempat ini bisa dijaga, dan lebih diperhatikan lagi.
“Walapun ini sudah baik, di beberapa tempat jembatan, sudah mulai banyak yang rusak,” sebut Budiaman, salah satu mahasiswa itu.
Terkait Hutan Kota Tibang
Menurut beberapa sumber dirangkum, Hutan Kota Tibang tadinya merupakan lahan gersang bekas hantaman bencana tsunami menimpa Aceh pada 2004 silam.
Pemko bersama BNI menyulap lahan ini menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai tindaklanjut konsep Banda Aceh Green City.

Katanya, pembangunan Hutan Kota Tibang ini, merupakan program prioritas Pemko di bidang lingkungan. Pemko menganggap penting prinsip pembangunan berkelanjutan yang merupakan bagian dari agenda globlal 2015-2030, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs).
Dengan SDGs, maka akan menyeimbangkan pembangunan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Hutan Kota Tibang saat ini telah ditumbuhi 5000 batang pohon dengan jenisnya mencapai 150 jenis pohon. Ada cemara laut, waru, ketapang, glumpang hingga kelapa. Ribuan batang pohon yang ada di hutan ini kemudian mampu memproduksi oksigen hingga 37 ton/hari.
Keberadaan Hutan Kota Tibang ini telah menjelma menjadi paru-paru Kota Banda Aceh, karena mampu menghasilkan 37 ton oksigen per harinya.

Bukan hanya itu, dengan ribuan pohon yang kini tumbuh, Hutan Kota Tibang mampu menyerap karbondioksida (CO2) dalam jumlah besar. Sesuatu yang sangat dibutuhkan sebuah kota untuk mengantisipasi pemanasan globlal.
Dengan segala kelebihan dimiliki, Hutan Kota Tibang pernah meraih juara III penghargaan Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) tingkat Nasional.
Penulis: DEP