Jendela Sabang MeraukeWartawan

Wartawan Perang yang Terlupakan

×

Wartawan Perang yang Terlupakan

Sebarkan artikel ini

Oleh Adnan Ns

Kali ini kebetulan Saya tidak mendapat undangan untuk menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) yang dipusatkan di Medan.

BANNER

Untuk mengisi kekosongan sore itu Saya mengajak Saipullah Wartawan IndonesiaGlobal.Net Bandung untuk menemani Saya bertandang ke rumah pasangan wartawan sepuh, di Kompleks Perumahan Wartawan, Bale Endah.

Di tengah perjalanan Kota Kembang ini diguyur hujan. Kami buru-buru berlindung di bawah tol Buah Batu. Sepeda motor tua jenis astrea kami tinggalkan begitu saja, sembari memesan dua cangkir kopi dan teh. Pada pojok yang gelap itu terlihat tiga sosok pria sedang asyik main judi online.

Begitu hujan reda Kami melanjutkan perjalan berzig-zak untuk meloloskan dari jebakan kemacetan. Bandung sekarang sekarang sangat berbeda dengan Bandung 1985-an. Jalan menuju Bale Endah sepi amat. Kini kepadatan jalanannya sudah merubah ke bahu jalan.

Tiba di rumah yang dituju menjelang Magrib, Kami larut dalam obrolan panjang, hampir empat jam. Kecuali jeda sekejap saat shalat Magrib saja. Sabtu malam itu semakin larut. Banyak hal menarik dikisahkan pasangan Wartawan ini. Awal 1960-an adalah baru satu setengah dekade merasakan kemerdekaan RI.

Catatan ringan di bawah ini sangat berharga dan bagus untuk disimak, apalagi jika mau ditorehnya mumpung masih dalam suasana memperingati bulan kelahiran pers di bumi persada ini.

Siapakah gerangan mereka ini? Pria berbadan kekar adalah Hamzah Ibrahim kelahiran 12 Juni 1939 di Dataran Tinggi Gayo, Aceh. Dia adalah seorang wartawan beken, kini hanya mampu mengitari sudut-sudut ruangan rumahnya saja, sejak mengalami gangguan pada penglihatannya.

Pasangan setianya yang di sebelahnya tidak lain, adalah seorang wartawati imut-imut berkulit putih, tapi masih gesit hingga kini. Usianya sudah beranjak 78 tahun. Kedua mereka ini adalah sama-sama berprofesi sebagai wartawan perang pada awal 60-an.
Pasangan wartawan ini lebih banyak berkiprah di Bumi Parahyangan selain pernah dikirim ke Maluku dan Sulawesi bersama sejumlah wartawan lainnya.

Kedua mereka awal terlibat dalam liputan perang di penghujung Pergolakan DI/TII hingga memasuki era konfrontasi Indonesia- Malaysia 1963-1966 dan disusul lagi masa Gestapu (Gerakan 30 September) PKI. Pada masa itu kedua insan pers ini belum terlilit dengan tali pernikahan, walau mereka sudah saling memandang dan saling berjalan bersama dalam liputan persnya.

BACA JUGA:   DPD PAN Kepulauan Tanimbar, Serahkan Formulir Dua Calkada

Pria kelahiran, Kuta Lintang Aceh Tengah ini menceritakan kisah perjalanan hidupnya sebagai wartawan persisnya dimulai pada tahun 1962. Kala itu, tugas pertamanya disuguhkan sebagai korektor pada Harian Karya terbitan Sore di Bandung. Surat kabar ini di bawah asuhan A.K Jakobi, tokoh asal Blangkejeren, Gayo Lues, Aceh. Media ini ketika itu masih menggunakan mesin hand press. Aksara katanya terbuat dari bahan timah.

Katanya, memasuki bulan keenam baru dipercayakan sebagai wartawan bidang Hankam, hukum dan kriminal.

Produk jurnalistik tanpa gambar yang dihasilkan perdananya berjudul “BANDUNG MEMBARA”. Hari itu terjadi demo anti China disusul aksi pembakaran sejumlah sepeda motor, mobil serta pertokoan milik keturunan dilakukan kelompok mahasiswa ITB. Berita pertamanya itu langsung menjadi Headline halaman depan dan malamnya terpaksa dicetak ulang, sangking laris berita hot itu. Sementara surat kabar lainnya baru terbit besok. Sejak itu nama Hamzah moeda itu pun semakin harum.

Selama bertugas di bidang Hankam, hukum dan kriminal, dirinya sering bertandang ke PT Ika (Ilmu Kepolisian), sekarang ini menjadi Kopassus. Tahun 1962 institusi ABRI itu masih digabungkan dengan Kepolisian Negara.

Sebagai wartawan bidang Hankam Hamzah tentu paling sering bertandang ke markas tentara AU itu. Bahkan suatu ketika Dia dilibatkan dalam pengepungan kelompok bandit asal Ambon pada sebuah hotel terkenal pada dinihari. Bukan itu saja, suatu saat Dia diajak untuk ikut latihan di Lanud Margahayu(Kini Lanud Soelaiman) Di tempat itu, Ia dilatih mental dan pisiknya menjadi seorang penerjun bersama perwira tinggi ABRI lainnya selama tiga bulan.

Dia sempat dibekali keterampilan latihan khusus dalam bidang penerjunan menghadapi masa konfrontasi Indonesia -Malaysia.

Sukses dalam latihan pertama, Dianya kembali diikutsertakan dalam latihan jajaran RPKAD (RESIMEN). Di tempat baru ini, Dia dilatih bagaimana cara menggunakan senjata laras panjang untuk menghadapi musuh. Berkat ketekunannya, Dia memperoleh predikat sebagai penembak jitu bersama kepolisian lainnya di Tanah Pasundan ini.

BACA JUGA:   Anggota Polri Tewas, Diduga Dianiaya OTK

Semua latihan berat di berbagai medan berat sekalipun telah dilalui. Termasuk keterampilan bongkar pasang persenjataan. Sosok wartawan moeda masa itu benar-benar siap berlaga di medan tempur, di manapun dan kapan pun perannya itu diperlukan. Bahkan, Dia sukses melakukan terjun payung berparasut di berbagai tempat, layaknya seorang prajurit tulen.

Di antara temannya itu ada yang direkrut langsung menjadi anggota ABRI dengan pangkat tinggi. Namun Hamzah tidak tergiur sedikitpun Tawaran itu. Dia tetap memilih prosesi sebagai wartawan abadi untuk dibawa mati kelak.

Para wartawan penerjun yang sudah terlatih ini sebelum menjalan missi operasinya senantiasa dikarantina di sebuah hotel mewah dengan suguhan makanan mewah pula selama sepekan.

Suatu ketika para wartawan terlatih ini dikumpulkan untuk suatu operasi rahasia, tapi ke mana titik sasaran penerjunan tidak diberitahukan. Padahal ketika itu mereka semua sudah dibekali diri dengan peta, persenjataan perang, payung parasut dan radio tangan, bekal aneka obatan, dan ransum makanan.

Kiranya, tepat waktu pukul 03.00 dinihari dalam suasana gelap gulita kami diterbangkan ke titik sasaran, yaitu perbatasan Indonesia-Malaysia. Namun tiba-tiba suasana berubah, muncul cuaca ekstrim disertai hujan lebat kilauan petir serta guntur membahana menghias langit di atas Malaysia itu. Rencana penerjunan sebelum fajar menyingsing terpaksa dibatalkan. Dua Pesawat Hercules yang mengangkut 300 penerjun harus landing kembali di Lanud semula, kenang Hamzah.

Menurutnya, konfrontasi Indonesia- Malaysia, terjadi diawali munculnya Persengketaan dan penolakan penggabungan wilayah Sabah, Brunei, dan Sarawak diprakarsai presiden Soekarno. Wartawan Hankam masa itu selalu dalam siaga perang untuk membela tanah air tercinta ini. Jiwa dan raga serta pikirannya diharapkan bisa menjalani missi republik dalam mempertahankan negaranya.

Tujuan operasi militer masa itu dilakukan demi memuluskan operasi Dwi kora dikenal dengan semangat ‘Ganyang Malaysia.’

Sebagai peliput berita berbagai wilayah operasi militer di masa konflik, tentu sangat wajar kepada sosok mereka ini diberi julukan “wartawan perang parahyangan.”

BACA JUGA:   DPD PAN Kepulauan Tanimbar, Serahkan Formulir Dua Calkada

Selain Hamzah Ibrahim, beberapa wartawan lainya juga ikut dalam operasi tersebut. Di antaranya Arifin Azman dari koran (Warta Bandung), dan Amir Zainun (Pikiran Rakyat) Dan Sarjono, dari Kantor Berita PIA (Perancis) langsung direkrut menjadi prajurit TNI AU dari pangkat Letnan Dua hingga berpangkat Letkol. ISNA Harahap (Warta Bandung) justru terjun ke dunia pendidikan. Isna kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bandung dan terakhir menjabat sebagai Hakim Agung dan meraih predikat profesor.

Selain wartawan Parahyangan, ikut juga wartawan penerjun lain yang dikirim dari Jakarta.Mereka itu adalah, Aris Ides Katopo koran (Sinar Harapan) dan Hendro Subroto dari (TVRI), serta beberapa Media lain ikut mengirim wartawannya, namun Dianya tidak teringat lagi siapa nama lainnya nya itu.

Untuk kumpulan perjalanannya ini, Hamzah telah menorehkan historis suka dukanya selama menjadi wartawan dalam sebuah buku yang diberi judul: “Bila Maut Datang Menjemput, Antar Aku Sebagai Wartawan”. Buku otobiografi ini sebagai persembahannya buat generasi mudanya. Buku ini sengaja ditulis bersama wartawan senior yang tergabung dalam MAWAS (Majelis Wartawan Senior) Jawa Barat.

Hamzah ini tidak saja sebagai penembak jitu dalam dunia peperangan, tapi Dia juga jitu dalam menembak hati si Teteh Endah, putri Parahyangan. Bersama Teteh Endah Suheidah si wartawati Bandung Post yang juga ikut berkiprah sebagai wartawan perang ini, dikarunia tiga putra dan seorang putri.

Meskipun tercatat sebagai wartawan perang tanpa jasa itu, namun kondisi hidupnya di usia renta seperti dilupakan.

Saat berbincang -bincang malam itu, sepintas terlihat tampilan bodinya masih tegar. Tentu pria ini pasti ganteng dan tampan di zamannya, bisik kami dalam hati.

Usianya memang sudah memasuki 84 tahun, namun suaranya, raut wajah dan gerak langkahnya, masih mencerminkan sisa kegarangannya bak seorang prajurit kedirgantaraan.

Suami istri ini kelihatan sangat girang saat dibesuk juniornya Adnan NS dan wartawan muda Saipullah, masih dalam suasana hari milad pers nasional 2023 ini.

 

Anggota Polri Tewas, Diduga Dianiaya OTK
Hukum

INDONESIAGLOBAL, JAYAPURA – Kepolisian Resor Yahukimo menyelidiki kasus penganiayaan, diduga dilakukan Orang Tak Dikenal (OTK) terhadap anggota Polisi Polres Yahukimo…