IG.NET, BANDUNG – Pasangan wartawan perang Jawa barat Hamzah Ibrahim dan istrinya Endah Suheidah menilai, semangat juang menegakkan kebenaran dalam penulisan berita, wartawan era kini, kerja lebih banyak, menanti rilis dikirim oleh para pejabat. Ketimbang mencari berita.
Penegasan ini dikemukakan, pasangan wartawan sepuh dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional tahun 2023, di kediaman nya Jl Sipatahunan, 26 komplek Perumahan Wartawan Bale Endah Bandung. Sabtu malam 11 Februari 2023.
Sebagai wartawan senior keduanya menyayangkan sikap wartawan kini, kurang peduli terhadap lingkungan, kontrol sosial, dan sifatnya lebih banyak mengkatrol rilis dari pada menulis.
Semestinya sosok wartawan harus mengedepankan fungsi kontrol sosial, untuk mengisi halaman medianya, sebagaimana tugas mencari, memperoleh, mengumpulkan, memiliki, mengolah, menyimpan kemudian menyiarkan (6-M) infomasi yang dimiliki guna mencerdaskan masyarakat.
“Itulah perbedaan wartawan kini dengan dulu yang sangat signifikan. Bagaimana, mengaku seorang wartawan beneran, tidak menerapkan rumus 6M.” Ujar mereka serentak
Masa kami dulu sebut mereka, Wartawan setiap pagi hari, harus mencari informasi yang berkembang untuk dijadikan sebuah news (Berita), jika terdapat ketimpangan atau ketidaksamaan data dan fakta di lapangan, baru kemudian, dilakukan fungsi cek and ricek pada para pejabat terkait.
Dengan demikian akan menelurkan sebuah berita yang baik dan berimbang (Balancing News) serta berkualitas, tuturnya lagi.
Kedua wartawan sepuh ini menyarankan, dalam praktek jurnalistik, seseorang harus tetap berguru, jangan hanya meniru. Sebab jika meniru tidak akan paham dalilnya.
Mereka mengaku, awal menjadi wartawan hanya sebagai korektor (mengoreksi) berita-berita dikirim para wartawan, kemudian menyusun huruf demi huruf (letter press berbahan timah) untuk proses percetakan (handpress). Pada masa itu belum menggunakan mesin Offset.
Katanya, enam bulan kemudian Dia diterjunkan sebagai wartawan lapangan.
Bersamaan tahun 1963 isu PKI mulai merebak. Pagi itu Hamzah muda sedang mengitari kota Bandung. Tiba-tiba matanya menangkap suatu tragedi tak disangka-sangka. Asap mengepul dari aksi pembakaran beberapa sepeda motor, mobil serta toko milik keturunan Tionghoa dilakukan sekelompok mahasiswa.
Petangnya berita liputan itu langsung terbit sebagai berita headline pada koran Harian Karya tempatnya berkerja. Sementara koran lain baru beredar esoknya.
WARTAWAN PENERJUN
Selain berperan sebagai wartawan perang berpasangan dengan istrinya, Hamzah 84 tahun ketika bertugas di lingkungan Hankam (Ketahanan dan Keamanan) tertarik dan direkrut serta dilatih sebagai wartawan penerjun dalam rangka bela negara.
Ketika itu, Hamzah sengaja dibekali latihan khusus bidang penerjunan menghadapi masa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.
Sukses dalam latihan pertama, kembali diikutsertakan dalam jajaran RPKAD (RESIMEN). Di tempat baru Dia dilatih cara menggunakan senjata laras panjang untuk menjadi penembak jitu bersama kepolisian Jawa barat.
Semua latihan sudah diikuti, bahkan Dia sudah mampu melakukan terjun payung di beberapa kesempatan.
Sebelum diterjunkan, para wartawan terlatih ini pun ikut dikarantina terlebih dahulu selama seminggu, kemudian diterbangkan untuk operasi tanpa di beritahu arah dan tujuan walaupun sudah dibekali dengan persenjataannya. Begitupun operasi penerjunan menjelang dinihari itu di perbatasan Indonesia- Malaysia gagal akibat hujan semalam suntuk.
Baginya pengalaman sebagai wartawan perang bukan hanya sebatas itu, tapi kami, sambil menunjuk kepada istrinya. Pengalamannya sejak konflik bersenjata terjadi masa pergolakan DI/TII, konfrontasi hingga pemberontakan PKI 1965-1966.
Kata istrinya Endah 78 tahun mengaku dirinya sempat mengikuti masa perperangan tidak hanya di Pulau Jawa, tapi hingga dalam penanganan atau penangkapan tokoh DI/TII Kahar Muzzakar di Sulawesi.
Ketika itu, katanya antara pemberontak dengan masyarakat sangat menyatu, hingga sulit dipisahkan. penanganan keamanan oleh pasukan Diponegoro sempat gagal, bahkan menimbulkan kemarahan masyarakat, namun ketika pasukan Siliwangi diterjunkan, suasana menjadi berubah, hingga akhirnya masyarakat dan TNI berbaur langsung, tidak ada korban pembunuhan lagi, katanya mengakhiri.