
IG.NET, ACEH BARAT – Memperingati 18 tahun tsunami Aceh, masyarakat khususnya nelayan menghentikan segala aktivitas lautan samudra untuk mengenang masa suram pernah terjadi di Bumi Seramoe Mekkah pada 26 Desember 2004.
Amatan IndonesiaGlobal.Net, ratusan kapal berkelir warna-warni milik para nelayan tampak parkir berderet di Dermaga pendaratan ikan TPI Meulaboh, Senin 26 Desember 2022.
Para nelayan itu terlihat tengah bersantai sambil mengobrol di warung kopi kawasan tersebut siang hari, usai dzikir dan doa bersama peringatan tsunami di Desa Kampung Pasir.
Penghentian aktivitas kapa-kapal itu dilakukan atas musyawarah Lembaga Adat Panglima Laot tahun 2005, paska bencana tsunami menerjang Provinsi Aceh mengakibatkan ratusan ribu jiwa meninggal dunia.
Husaidi salah satu nelayan sambil menunjuk ke kapal nelayan, menyebutkan alasan tidak melaut karena peraturan wajib telah disepakati seluruh panglima laot dan itu dipatuhi seluruh nelayan, khususnya di Aceh Barat.

Kata dia, hari ini rekan-rekan nelayan tidak melaut karena telah ada penetapan peraturan penting setelah tsunami menerjang Aceh.
“Sehingga, pada 26 Desember ini menjadi hari pantangan melaut bagi nelayan sesuai hukum adat laut.”
Dia pun mengisahkan kejadian dialami kepada IndonesiaGlobal, saat tsunami disebabkan gempa bumi berpusat di perairan laut Kabupaten Aceh Barat sekian tahun silam.
Jika mengingat kejadian itu, cerita dia jantung serasa berdetak. Badan gemetar kala goyangan gempa terjadi pada Minggu pagi durasi 10 menit, kekuatan 9,3 magnitudo, menyebabkan air laut gelombang besar menyapu bersih daratan.
“Rumah saya di Desa Padang Serahet tepat berada di pinggir lautan. Kala itu air laut mulai naik, terpikir dalam kepala kita bagaimana cara menyelamatkan diri dan keluarga.”
Alhamdulillah, dengan izin Allah, saya selamat. “Namun duka menimpa. Para sanak saudara terdekat meninggal dunia dan hilang tidak tahu kemana,” tuturnya.
Saat kejadian itu, bersama keluarga bisa selamat, ia pun mengaku berlari sebelum gelombang laut naik menuju arah daratan lebih tinggi, di Desa Lapang.
Sambil mengingat peristiwa kelam itu, usai air surut, sejauh mata memandang hanya melihat hamparan kosong dipenuhi sampah, serta batang pepohonan dan puing bangunan.
“Rumah-rumah warga rata dengan tanah, dan mayat-mayat tergeletak sepanjang jalan.” Cerita Husaidi.
Ratapan kesedihan warga terdengar dimana-mana. Kepedihan mendalam sangat dirasakan, masyarakat juga banyak kehilangan keluarganya.
“Semoga, peristiwa ini tidak terulang lagi ke depannya,” katanya seraya berdoa.
Salah satu nelayan lainnya, Muhammad Jamil menambahkan, bahwa ratusan kapal laut tidak berlayar mencari ikan di tengah lautan, karena himbauan penting Panglima Laot pada berapa hari lalu.
Kata dia, peraturan pantangan melaut ini berlaku setiap tahunnya pada peringatan tsunami dan terdapat hari lainnya, seperti hari Jumat, Idul Fitri, Idul Adha, kanduri laut dan 17 Agustus.
“Pastinya seluruh nelayan tetap mematuhinya,” tutup M Jamil.
MAG /Reza A. Latif melaporkan
Editor : DEP
1 thought on “Nelayan Patuhi Aturan Lembaga Adat, Husaidi: Kisah Pilu Tsunami Aceh”