
IG.NET, JAKARTA – Sebagai Generasi Millenial tentu mengenai sosok Wartawan, itu hanya sebatas sebagai pemburu berita (Hunter news). Baik sebagai reporter, sebagai kontributor dan sejenisnya saja.
Koridor tugas dipahami awam, yakni mencari, memperoleh, mengumpulkan, memiliki, mengolah dan menyiarkan infomasi dimilikinya itu untuk mencerdaskan masyarakat.
Namun, ada hal menarik dari kisah seorang senior, atoknya wartawan bergelut era pergolakan. Dari zaman DI/TII hingga era Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966.
Kisah Seorang Senior, Atoknya wartawan Bergelut Era Pergolakan
Hamzah Ibrahim namanya. Wartawan usang asal Tanah Rencong, Gayo ini, sejak 1979 sudah berdomisili di Jalan Sipatahunan 36, kompleks Wartawan Bale Endah, Bandung.
Suami Teteh Endah Suheidah dan Ayah tiga putra dan seorang putri ini, tercatat sebagai salah seorang wartawan penerjun terlupakan.
Hamzah muda, ketika itu sengaja dibekali keterampilan latihan khusus dalam bidang penerjunan menghadapi masa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.
Pelatihan terjun payung yang sukses dan berjasa ini dengan misi utamanya hendak “mengganyang” Malaysia. Pria tua bertubuh kekar dan gempal kelahiran Takengon, Aceh Tengah 12 Juni 1939 ini, satu malam menceritakan kisah perjalanan hidupnya kepada Indonesiagloblal.Net beberapa waktu lalu.
Sepintas terlihat tampilan bodinya masih tegar. Meski usianya sudah 83 tahun. Dari raut wajah dan gerak langkahnya, masih takpak sisa kekekaran seorang prajurit kedirgantaraan.
Tentu pria ini pasti ganteng, lagi tampan di zamannyanya itu. Pantaslah neng geulis dari Tanah Parahyangan ini terpesona dengan pria gunung dari dataran tinggi Aceh.
Kelihatannya, walaupun sudah sepuh. Kedua pasangan wartawan dan wartawati itu masih romantis. Si Abah, setiap dipanggil atau ditanyai isterinya tetap menyahut dengan lembut.
“Ada apa Sayang,” ujarnya. Sementara pasangan muda belia di depannya, tersenyum simpul sambil saling memandang kemesraan Hamzah.
Suara Hamzah Ibrahim masih lantang, walaupun matanya sudah tak mampu menerawang lawan bicaranya lagi. Suami isteri ini sangat happines ketika dibesuk juniornya Adnan NS dari Banda Aceh.
Penulis hanya bengong, ketika Adnan NS mantan pengurus PWI Pusat dan Hamzah Ibrahim, mantan Wartawan Harian Mandala dan istrinya Endah Suheidah mantan Wartawati Bandung Pos, ikut berkelakar, berguyon, bernostalgia.
Terlihat mereka begitu akrab mengobrol bertiga sesama sahabat kentalnya hingga larut malam. “Memori sosok wartawan tua itu masih lumanyan. Sesekali saja lama mengingatkan sesuatu,” ucap penulis dalam hati.
Saya dan istri, Afrinda serta putri sulung ku Shanum Al-Asyi terkulai dalam pangkuan ku. Kami bertiga ikut terpana dan terlena serta terkantuk-kantuk.
Hamzah dan Isterinya memperkenalkan “Bapak Mu, sembari memukul bahu Adnan NS, mantan Wartawan Harian Waspada ini di sisi kanannya. “Adalah teman setia kami sejak lama.”
Kami saling berkunjung. Kata wartawan senior itu, seraya isterinya pun ikut manggut- manggut, membenarkan pernyataan ini.
Timpal sang istri, Endah. “Tahu tidak, kata dia? Adnan ini tengah malam dengan suara keras pernah menggedor kamar tidur ku di Hotel Mutiara di Meulaboh. Begitu pintu ku buka, dibantingnya tumpukan ikatan durian di depan. Akhirnya malam itu kami bergadang sambil menyantap durian. Enak sekali loh,” kenang mantan wartawati itu dengan gelak tawanya.
Dia menceritakan, waktu itu veteran-veteran wartawan ini mengaku sedang melakukan tugas jurnalistik bersama rombongan wartawan lainnya di belahan ”negeri seribu sungai” Sejak merdeka dari rangkaian perakitan, wilayah ini lebih populer sebutan Barsela.
Adnan NS, ketika itu periode 1985-1996 menjabat sebagai ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Aceh, tambah ibu dari Genali, Ratiba, Gemboyah dan Gentala.
Awalnya, lanjut Hamzah wartawan penerjun ini, dia tidak pernah bercita-cita menjadi wartawan. Apalagi menjadi wartawan penerjun dipersiapkan untuk tujuan membela negara, imbuh dia.
“Jangankan niat, mimpi saja tidak pernah. Baginya, sosok, tugas dan fungsi, apalagi profile wartawan sangat asing.” Dalam benaknya terlintas, wartawan itu adalah identik dengan seorang “detektif.” Yang terbayang, kata dia, wartawan itu adalah spionase, pelacak, semacam intelijen atau mata-mata.
Kata Hamzah, di awal kemerdekaan RI, ekonomi belum pulih akibat perang berkepanjangan di Aceh (bukan dijajah). Keuangan rumah tangga sangat sulit.
Sebagai pemuda, dia tak ingin membebani hidup pada ortu. Ahkirnya memilih merantau ke Jakarta melanjutkan kuliah. Itu dilakukan Hamzah setelah tamat SMA tahun 1961 di Kutaraja, Banda Aceh.
Selama di Jakarta, dia mengaku kerja serabutan dan menjadi kuli bangunan dalam perkerjaan lapangan tenis. Saat bekerja membuat lapangan tenis, dia pun akhirnya terserang penyakit dan terpaksa dirawat selama tiga bulan.
Beranjak dari proses pemulihan tersebut, Hamzah diantarkan rekannya ke rumah salah satu tokoh nasional, Muhammad Hasan Gayo.
Kala sedang duduk melamun dengan pandangan hampa di suatu pagi kala itu, tiba-tiba dikejutkan dengan suara sang pemilik rumah.
“Hai, Kamu ini mau kerja atau sekolah? Kalau mau kerja jadi wartawan saja, kalau hendak sekolah silakan masuk ke PT IKA (Ilmu Kepolisian) saat itu masih gabung dengan Kopassus. Pikirkan! Besok Saya tunggu jawabannya,” tegasnya, meniru ucapan Hasan Gayo pemilik rumah tempat tinggalnya.
Hamzah Ibrahim pun terdiam, berpikir keras. Hasan Gayo hanya memberikan waktu sangat pendek, memutuskan sikapnya dalam waktu setengah tergesa-gesa.
Cerita dia, hatinya kala itu sempat berkecamuk untuk menentukan pilihan. Dia berintrakomunikasi dengan dirinya. Lalu menetapkan tekad hatinya untuk menjadi wartawan, meskipun gambarannya belum jelas.
Hasan Gayo pun serta Merta bertolak menuju Bandung untuk menemui Aka Jakobi, Pemilik Harian sore pertama di Bandung. Berbekal alamat pada secarik kertas dan sekedar modal ongkos diberikan, Pemuda Gayo ini menuju Bandung.

Sesampai di Bandung, lanjut dia. Secarik kertas ditorehkan Hasan Gayo itu diserahkan kepada Aka Jakobi Boss koran sore ini. Aka Jakobi menatapnya dari ujung kaki ke ujung rambut dengan membisu. Pikirannya galau? Diterima atau tidak?
Lalu,… “Kau mau apa? Kalau kau jadi wartawan, kau akan jadi orang miskin.” Sebaiknya kamu kuliah saja, tegas Aka Jakobi lantang.
Hamzah pun spontan menjawab dengan lantang pula. “Wartawan,” yang penting dapat perkerjaan, gumamnya dalam hati. Namun bayang-bayangan kata “miskin” masih menyelimuti hatinya.
1962, Tahun Perdana Hamzah Ibrahim Sandang Gelar Wartawan
Tahun 1962, adalah tahun perdana dia menyandang gelar wartawan. Walau tugas pertamanya langsung di tempat sebagai korektor.
Enam bulan berikutnya, dipercaya menjadi wartawan di bidang hukum dan kriminal. Kebetulan, tahun 1963 isu PKI mulai memanas. Pagi itu Hamzah muda sedang mengitari kota kembang Bandung. Matanya menangkap suatu tragedi tak disangka-sangka.
Asap terlihat mengepul. Dalam hatinya terlintas apa gerangan? Saat mendekat, terlihat aksi pembakaran motor, mobil serta toko milik keturunan China.
Pelaku pembakaran diduga dari kalangan Mahasiswa ITB dan Unpad. Naluri jurnalis ikut menyala untuk menyelidik.
Peristiwa pandangan mata itu pun langsung ditorehkan menjadi sebuah karya jurnalistik perdananya di media Harian Karya terbitan sore itu. judul ‘Bandung Membara.’ Berita tanpa foto ini menjadi Headline. Koran lain baru besok pagi beredar.
Selama bertugas di bidang hukum dan kriminal, dirinya sering bertandang ke PT Ika (ilmu kepolisian) kekinian Kopassus.
Seiring terbangunnya hubungan emosional, Hamzah pun mulai diajak berpartner dengan pihak kepolisian dalam memburu penjahat kelas kakap ke Maluku.
“Tidak hanya itu. Pernah satu ketika, kenangnya. Berbarengan dengan polisi, ia ikut mengepung penjahat di sebuah hotel untuk penyergapan menjelang dinihari,” kata dia.
Bila Maut Datang Menjemput, Antarkan Aku Sebagai Wartawan
Setelah mental tertempa, fisik pun semakin kokoh, Dia diajak untuk ikut latihan di Lanud Sulaiman Margahayu. Di tempat itu, ia dilatih menjadi penerjun dan ikut latihan bersama perwira tinggi selama tiga bulan.
Sukses dalam latihan pertama, kembali diikutsertakan dalam jajaran RPKAD (RESIMEN). Di tempat baru ini, dia dilatih cara menggunakan senjata laras panjang untuk menembak menjadi penembak jitu bersama kepolisian Jawa barat.
Semua latihan sudah diikuti. Bahkan, dia sudah mampu melakukan terjun payung pada beberapa kesempatan.
Hamzah Ibrahim, selama tinggal di Dataran Tinggi Gayo, nyatanya sudah biasa menghadapi ketinggian. Masa kecilnya pun diisi bermain-main di pinggir perbukitan terjal.
Pantas saja, menjadi wartawan penerjun adalah hal tidak perlu dicemaskan. Pasalnya, akrofobia alias ketakutan berlebihan terhadap ketinggian, itu tak berlaku bagi sosoknya.
Pada masa terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia. Persengketaan ketika itu diawali penolakan dan penggabungan wilayah Sabah, Brunei, dan Sarawak diprakarsai presiden Soekarno.
Berkaitan momentum ini, para wartawan idealis masa itu disiapkan menjadi perangkat khusus dalam menjalankan misi tersebut.
Demi memuluskan operasi Dwi kora dikenal dengan semangat ‘Ganyang Malaysia.’ Pihak TNI AU menyiapkan dua pesawat Hercules mengangkut 300 penerjun.
Sebelum diterjunkan, para wartawan terlatih ini pun ikut dikarantina terlebih dahulu selama seminggu. Anehnya, pihak militer ketika itu tidak menjelaskan tentang rencana operasi.
Pukul 03.00 Wib dinihari mereka diterbangkan ke perbatasan Indonesia- Malaysia. “Saya kira watu itu hanya untuk persiapan latihan terjun payung seperti biasa. Ternyata kami dikirim ke wilayah perbatasan,” ungkap Hamzah Ibrahim terperangah.
Dua pesawat Hercules menyusuri titik sasaran. Menjelang detik-detik penerjunan di wilayah sengketa, tiba-tiba muncul cuaca ekstrim mengguyur wilayah ini.
Pesawat sempat hilir mudik menunggu membaiknya cuaca. Melihat cuaca tak bersahabat, fajar pun mulai menyingsing, pilot memutar haluan untuk kembali ke Pangkalan Udara Husen Sastranegara.
“Padahal kami sudah dilengkapi diri dengan persenjataan, dan ransum makanan hingga obat-obatan, hingga alat tulis. Tapi, ya kalau Allah berkehendak lain, akhirnya missi dinanti-nantikan dengan masa latihan berbulan-bulan, menjadi hampa,” ujar Hamzah.
Sebagai peliput berita berbagai wilayah operasi militer di masa konflik vertikal dalam negeri dan sebagai penerjun, era 60-an di Bandung, wajar dijuluki sebagai “wartawan perang parahyangan.”
“Wartawan Perang”
Alasan penambalan predikat “wartawan perang” dipenghujung tahun itu, untuk kota Bandung hanya tinggal Hamzah (Mandala) sendiri masih aktif sebagai wartawan abadi.
Lainnya Arifin Azman (Warta Bandung), dan Amir Zainun (Pikiran Rakyat) tidak aktif lagi sebagai wartawan atau meninggal dunia. Sarjono, dari Kantor Berita PIA (Perancis) langsung direkuit menjadi perajuti TNI AU dari pangkat Letnan Dua hingga berpangkat Letkol.
Sementara ISNA Harahap juga (Warta Bandung) terjun ke dunia pendidikan. Isna mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bandung dan terakhir menjabat sebagai Hakim Agung.
Wartawan penerjun lain dari Jakarta, Aris Ides Katopo (Sinar Harapan) dan Hendro Subroto (TVRI). Media lain mengirim wartawan menjadi penerjun, yaitu Berita Buana dan lainnya.
Oleh Rahmat Mauliady