
IG.NET, ACEH JAYA – Dua Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Arraniry Banda Aceh, M. Farhan Almahda dan Erik Eko Purnomo menemukan sejumlah memori peninggalan Belanda berusia satu abad lebih di Calang, Kabupaten Aceh Jaya.
Awal ditemukan benda berbentuk nisan itu, dia berencana melakukan riset untuk keperluan jurnal akademiknya. Riset yang dilakukannya itu menurut Muhammad Irfan, untuk menggali asal usul nama Gampong China di Calang.

“Saya pun berencana mengangkat tentang bagai mana warga China bisa sampai ke Aceh, khususnya di Calang.” Konon, katanya dulu sebelum tsunami banyak kuburan China dan Belanda.
“Namun kekinian sudah hancur akibat dampak tsunami.” Kebetulan saya punya teman, Erik, tinggal tidak jauh dari lokasi tersebut. Dari itu saya dan Erik berinisiatif menelusuri tempat itu, kata dia.
Sementara, menurut Erik, ucap Farhan, sebelumnya dia mengakui pernah ke lokasi itu. “Tapi kali ini dilakukan dalam rangka menemaninya untuk malakukan observasi.”
Kemudian di tempat itu, kami menemukan beberapa batu nisan dengan berbagai macam bentuk bertuliskan bukan seperti nama orang Aceh umumnya, tutur Farhan.

Awalnya dia mengaku bingung. Sebagai orang awam, menyimpulkan jika temuan itu adalah kuburan China. Namun, setelah difoto dan saya kirim ke Bapak Adnan NS, beliaupun bertanya di mana ditemukan? Tanya Pak Adnan.
Kata Pak Adnan, itu bukan kuburan China, kemungkinan kuburan belanda. Deklarator Aceh Jaya itu mengatakan bahwa kuburan China sekarang ini, sudah menjadi gudang pelabuhan baru, jawabnya kepada kami.

Sebelumnya, ujar Farhan menceritakan awal perjalanannya memulai riset itu kepada IndonesiaGlobal.Net, Minggu 19 Juni 2022 petang, mengaku awalnya tidak memiliki referensi apapun.
Sehingga, kata dia, seorang temannya dari Lamno, merekomendasi nama seorang tokoh, yaitu Adnan NS. Awalnya, Farhan mengaku enggan dan segan menghubungi Pak Adnan.
Diapun meminta bantu partnershipnya Erik, setelah konek baru dia bicara. Saat konsultasi sejarah Gampong China di Calang, Pak Adnan NS ini terkesan galak.

Saat itu adzan Dzuhur berkumandang. Lalu, diberikan waktu ba’da Ashar. Kamipun ingin menemui Pak Adnan di Krueng Sabee, ternyata Ketua Pendiri Aceh Jaya itu sedang berada di Banda Aceh.
Kata Pak Adnan, dalam masa jeda konsultasi itu, kami diberikan tugas melacak dan memotret sisa kuburan China dan bekas pelabuhan ekspor-impor Calang tempo doeloe.

Kedua objek itu kami laksanakan dalam waktu singkat dan kami kirim via WhatsApp. Kemudian balasan WhatsApp itu membuat kami terkejut bukan kepalang. Pasalnya, sejumlah foto dikirim itu bukan bekas kuburan China.
“Melainkan itu sejumlah catatan berupa memori Kolonial Belanda terpahat di atas onggokan dan lempingan batu. Di samping memori itu juga terdapat batu-batu lain berbentuk makam,” ungkap Farhan.

Menurut Pak Adnan, tulisan latin nama orang Jawa. Kebetulan sebelah Selatan Gampong China, dulu ada Gampong Jawa.
“Kemungkinan, makam itu milik para pekerja rodi (kerja paksa) atau sirante (tahanan) di luar rumoh glap (penjara) di bawa dari Pulau Jawa dan meninggal antara 1919 ke bawah dan 1931.
Pekerja Rodi Alias Sirante
Ini sesuai bekas pahatan pada sejumlah batu itu. Sayangnya ada yang tidak bisa terbaca lagi akibat dimakan usia dan dihantam gelombang tsunami raya melanda kota ini.
Sementara itu, hasil konfirmasi Pak Adnan dengan temannya Harry di Kedubes RI Amsterdam, Belanda, kata Farhan, diketahui pada salah satu batu terjemahannya : Apakabar? Katulistiwa?
Kemudian, oleh Pak Adnan kami disuruh balik lagi ke lokasi sama besok untuk membersihkan tanah dan lumut pada bebatuan itu. Serta disuruh membawa arang atau batu bata pecah untuk menorehnya pada bekas pahatan tulisan untuk dikirim pada temannya di negeri kincir angin Belanda.
Selain itu, kami juga masih disuruh melacak sisa kuburan China walaupun yang sompel. Jika tidak, Senator Adnan ini belum bersedia buka mulut soal asal usul Gampong China di Calang kepada saya, sebut Farhan kepada IGN.
Kemudian, kamipun berhasil menemui sisa keturunan China yang selamat dari gelombang tsunami Ahad, 26 Desember 2004, pukul 08.26 WIB pagi, di Calang. Sebagai bahan dasar risetnya, diakui dia ini sudah cukup, dan bukan tidak mungkin akan mengupas lebih jauh terkait hal ini, akhir dia.
Terpisah, Amal Hasan Ibrahim, salah seorang tokoh Aceh Jaya kepada IGN mengakui pada kebunnya di kaki Gunung Mata Ie, Gampong (Sekarang Gampong Bahagia-Red) dulu banyak terdapat makam kuno.
Sementara, Ratna Bin Karim, mantan warga Gampong China mengatakan, jika di atas makam China ini sekarang sudah berdiri gudang/veem pelabuhan Calang.
Hal senada turut dikatakan Warga Gampong China lainnya, mengakui pernah melihat saat gudang didirikan pada beberapa galian terdapat tulang belulang dan tengkorak manusia.
Deklarator Aceh Jaya, Adnan NS, saat dihubungi mengatakan pada pelabuhan Calang ini selain terdapat gudang besar bersisian dengan Gunong Boom, juga terdapat imigrasi dan kantor Bea dan Cukai sebelah lapangan bola kaki.
Hal itu, ungkap dia membuktikan bahwa Calang yang berbasis di Gampong China, sebagai pusat niaga ini adalah menyandang predikat pelabuhan eksport-impor.
Di Kota Heterogen ini katanya banyak etnis yang bermukim, China, Arab, Maindailing, Minang, Barus dan Jawa. Selain suku Aceh itu sendiri.
Tak heran, warga di sini kental terdengar bahasa China, Minang dan Aceh. Sesekali terdengar bahasa Arab, Mandailing dan Barus serta Jawa sesama kelompok kecil mereka.
“Bahasa Minang atau Aneuk Jamee (pendatang), sama banyaknya dengan bahasa Aceh, tapi Minang raib saat tsunami menyapu kota ini. Sekarang hanya satu bahasa tersisa, yaitu bahasa Aceh saja,” imbuhnya.
Dikutip dari buku Aceh Jaya ditulis, Belanda mendarat di Gampong China Calang 1910, setelah syahidnya Teuku Umar 5 Februari 1899. Sedangkan Gunung Geurutee tembus pada tahun 1927, setelah dibuang Cut Nyak Dhien ke Sumedang 1905.***
Redaksi/DEP/Melaporkan