Jendela AlaOpini

Ramadhan Berkah, Panganan Berlimpah

Avatar photo
×

Ramadhan Berkah, Panganan Berlimpah

Sebarkan artikel ini

IG.NET, ACEH SELATAN – RAMADHAN bulan penuh berkah. Berkah untuk yang menjalankan ibadah, berkah pula untuk pedagang penganan yang memanfaatkan momentum bulan puasa itu.

 

Begitulah dua sisi yang mewarnai dinamika warga sejak Ramadan hingga pada pengujung bulan puasa ini.

 

Bulan puasa dimanfaatkan sebagian warga untuk menjajakan panganan berbuka puasa.

Foto : Masluyuddin. (Redaktur Budaya/Sejarah IGN)

 

Sebaliknya, warga lain membeli panganan itu untuk menyempurnakan ibadah puasanya, saat berbuka puasa

 

Penggalan-penggalan tausiah dari  penceramah selama bulan Ramadan, setidaknya  menyinggung juga soal keberkahan Ramadan itu, dari berbagai segmen.

 

Segmen mikro ekonomi menjadi lazim dikembangkan sebagian warga saat berlangsung Ramadan.

 

Bersamaan Ramadan ini, datang dan  muncul penganan khas Aceh Selatan dari berbagai etnis budaya lokal.

 

Penganan khas itu, berupa makanan dan minuman berbagai jenis yang dijajakan pada waktu Ramadan.

Foto : Penjual Panganan puasa. (IGN)

 

Seperti pada bulan puasa Ramadan tahun 1443 ini, penganan khas itu kembali muncul. Lapek Guci misalnya, dia hadir setiap tahun, tidak terkecuali tahun musim pandemi yang semakin mereda ini.

 

Lapek Guci ini, menjadi icon penganan sejak tahun 80-an dan secara turun temurun masih diadon guna disajikan kepada penikmatnya.

LIHAT JUGA:   Ribuan Surat Suara Pilkada 2024 di Agara Mulai Disortir dan Dilipat

 

Menurut cerita warga,  kue Lapek Guci adalah kue yang berbahan baku beras ketan hitam yang dimasak dengan bahan bahan lain. Dia dibungkus dengan daun pisang dengan bentuk segitiga.

 

“Kue Lapek Guci yang benar-benar asli dengan rasa nikmat dan gurih serta wangi seperti tahun delapan puluhan  sekarang sudah sulit didapat, karena pembuat kuenya langka  dan bahannya yang khas sulit didapat,” kata salah seorang penjaja kue Ramadhan.

 

Dia menjual kue Lapek Guci dengan harga Rp1.000/biji, dengan potongan yang agak kecil sesuai dengan kondisi ekonomi sekarang.

 

Lapek Guci memang merangsang pembeli untuk menikmatinya, sehingga ada warga yang menjadikan kue itu menjadi kue pokok dalam berbuka puasa.

 

Takjil khas Tapaktuan ini, bahkan sengaja dipesan pembeli agar tidak ketinggalan mencicipinya pada setiap kali berbuka puasa.

 

Kue Lapek Guci menjadi salah satu kue pavorit untuk disajikan kepada tamu khusus yang berkunjung ke Aceh Selatan.

 

Bahkan, untuk tamu istimewa, panganan ini turut disajikan bersama kue lainnya.

 

Suasana Ramadhan, diwarnai juga hadirnya boh rom-rom seperti disebut di Tapaktuan, kue onde-onde. Kue ini dijajakan, sebagai takjil  bulan puasa Ramadan dengan harga Rp1.000/biji.

LIHAT JUGA:   Ribuan Surat Suara Pilkada 2024 di Agara Mulai Disortir dan Dilipat

 

Minuman khas berupa air tebu kilangan, juga menjadi kesukaan sebagian warga Tapaktuan dan sekitarnya seperti di Samadua. Di pusat penjualan penganan puasa Ramadan di Samadua yakni di sepanjang tanggul Gampong Ujung Tanah Samadua yang berbatasan dengan Gampong Arafah Samadua, berbagai penganan itu dijajakan penjaja atau pedagang musiman seperti kue dan minuman. Tidak ketinggalan air tebu dan kelapa muda.

 

Penganan lain yang meramaikan suasana menjelang berbuka puasa yakni  buah kurma.

 

Pedagang mulai banyak terlihat menjajakan buah khas Arab itu.

 

Salah satunya di lokasi jajanan takjil menu berbuka puasa di Jalan Lintas Banda Aceh–Medan tepatnya di Depan Masjid Agung Istiqomah, Tapaktuan, Jumat, (16/4). Di lokasi itu, pada hari itu ramai “diserbu” pembeli.

 

Sehingga, salah seorang penjual, mengaku kewalahan melayani pembeli.

 

“Alhamdulillah buah kurma masih merupakan makanan favorit masyarakat ketika memasuki  Bulan Ramadhan,” katanya.

 

Terlepas dari banyaknya pembeli dan sebesar apa keuntungan yang diraup pedagang spontan  di Bulan Ramadan, atau berapa banyak yang menikmati kue penganan khas Aceh Selatan,   ternyata Bulan Ramadan yang penuh berkah ini, benar-benar  telah menyediakan “berkah” bagi berbagai sisi.****

 

Masluyuddin, Redaktur Budaya/Sejarah