“Salah satu proses pembentukan opini publik yang siknifikan menembus dan menjangkau jejaring massa secara luas atau publik, yaitu melalui penggunaan sarana media massa.”
Media massa itu sendiri terdiri dari: Media massa cetak (surat kabar/majalah dll), media massa online/digitalisasi, media elektronik, audio(radio) media visual (film bisu), media audio visual(televisi). Semua media ini memiliki ciri keserempakan dan keserentakan penyebaran pesan atau opini dari komonikator (penguasa/pemerintah kepada komunikannya (rakyat).
Awal kepemimpinan rezim Suharto di negeri ini, persis pasca pecahnya Gestapu (Gerakan tiga puluh) September atau lebih populer dengan sebutan G-30 S PKI 1965. Masa ini dikenal dengan era revolusi sosial dan terjadinya perang saudara pertama di Nusantara ini.
Proses berikutnya, terjadi peralihan kekuasaan yang sangat signifikan. Jabatan kepresidenan yang dipegang Sang Proklamator Soekarno-Hatta, langsung “dirampas” begitu saja. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersmart). Itu terjadi pada “tahun genting” 1966.
Untuk menghindari terjadinya pemutarbalikan fakta dan data seiring bergulirnya gonjang-ganjing, silang pendapat atau pro contra di kalangan public opinion atau rakyat dalam negeri dan kalangan dunia internasional. Peran media massa sangat diliriknya sebagai win-win solution dalam mengatasi difference opinion ketika itu.
Tidak diketahui pula siapa pembisiknya? Yang jelas, ini bagian dari taktik dan strategik Suharto ketika itu dalam membungkam opini massa selama dia memimpin negeri ini. Dia sepertinya sangat paham tentang kiprah dan peran media massa sebagai senjata paling ampuh dalam proses pembentukan opini publik di kala itu. Jika tidak, pastilah opini publik itu memblunder menjadi bola liar yang tidak bisa dikendali? !!
Dalam suasana kekisruhan masa itu, Suharto, bukan sebatas memanfaat-kan media massa yang telah ada untuk menggulir dan menyebarluaskan pengaruh, pesan dan kebijakannya melalui wujud opini publik. Di balik itu, Suharto juga merekayasa kelahiran sejumlah media massa cetak dan kantor berita, radio dan televisi serta pembuatan film umum serta film dokumenter di bawah kendali pemerintah sipil dan militer.
Instansi miiliter pun ketika itu menerbitkan surat kabar tersendiri diberi nama angkatan bersenjata (AB) di setiap kowilhan dan Kodam di daerahnya masing-masing. Selain penerbitan surat kabar dan majalah serta buletin hasil tensilan, juga mendirikan kantor Berita PAB (Pemberitaan Angkatan Bersenjata) berpusat di Jakarta. Surat kabar lain juga di bawah kendali “tangan besi” itu yaitu Berita Yudha.
Di Kutaraja sendiri (sekarang Banda Aceh.Red). Kodam I Iskandar Muda di Provinsi paling barat Nusantara ini, meskipun aksi PKI tidak begitu riuh, namun mereka ikut menerbitkan Surat Kabar binaan ABRI tersendiri. Surat kabar diberi nama Harian Iskandar Muda. Padahal Kutaraja ketika sudah ada surat kabar lokal, Harian Peristiwa, Atjeh post, Bijaksana, Duta Panca Sila, Majalah Santunan, Majalah Sinar, Darussalam dan terakhir Harian Palapa.
Untuk Medan, Sumatera Utara nama Surat Kabarnya sesuai lugo kodamnya, yakni Bukit Barisan. Di samping itu terbit juga surat kabar Angkatan Bersenjata (AB) Komando Wilayah (Kowilhan) Sumatera bagian Utara (Sumbagut). Kedua surat kabar milik Abri (TNI) ini berpusat di Medan.
Kala itu arus informasi dan komunikasi berlangsung satu arah (one way communication). Tidak sebatas itu saja, bahkan boleh disebut cenderung satu pintu saja: Puspen ABRI atau Menteri Penerangan RI. Surat kabar swasta lain yang berbeda haluan atau tidak “berkiblat” pada muara puspen Abri, pasti diberi peringatan keras atau langsung dibreidel.
Peran, fungsi serta kebebasan pers semasa Presiden Suharto memimpin, praktis terbelenggu. UU Pokok Pers, No 11/66, bukan sekedar menjadi kaedah dalam operasional jurnalistik, melainkan ketentuan yang diberlakukan di dalamnya menjadi momok atau “ranjau” untuk pers itu sendiri.
Pemerintah ketika itu ikut memiliki sekaligus mengelola media massa dan menguasai organisasi pers dan kantor beritanya. Tak heran, ketika itu personal aparatur negara/PNS, anggota TNI dan Polri pun disusupi untuk menggeluti kerja profesi jurnalis. Dalam operasionalnya mereka sekaligus dijadikan mata-mata pemerintah untuk mengamati gerak gerik wartawan profesional non tiga unsur di atas tadi (TNI, Polri dan PNS)
Untuk tidak dituduh negara tidak demokratisasi dan tidak dituduh tidak merujuk pada pasal 28 ayat 1 E UUD RI 1945 tentang kebebasan beropini, pemerintah merancang UU 21/82 tentang SIUPP(Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. UU ini sebagai penyempurnaan UU 11/ 66. Begitu pun, sesungguhnya UU ini belum mencerminkan peran kebebasan pers yang hakiki.
Benar, UU sudah disempurnakan, namun dalam setiap derap dan langkah operasionalnya, pers senantiasa di pantau dan dimata-matai. Andai ada karya pers yang membentuk opini publik yang tidak selaras dengan kebijakan pemerintah orde baru, jangan heran? Pasti ada sanksi hukumnya. Bisa saja dampak dari tuduhan melanggar ketentuan itu maka diberlakukan “jurus maut,”berupa pembreidelan. Sekaligus pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Perusahaan Pers).
Ada catatan merah para insan pers nasional masa itu, sulit dilupakan, yaitu adanya aksi “jurus maut” pengeksekusian pembreidelan dua surat kabar nasional kita.
Katanya ketika itu: Pers Indonesia pers yang bebas dan bertanggungjawab. Faktanya, tanpa melalui proses yudikasi, urat nadi pers langsung dipenggal. Sekitar Juni 1983, surat kabar ekonomi Jurnal Ekuin ditamatkan hudupnya. Surat kabar ini diketahui membongkar skandal ekspor migas Indonesia-Jepang.
Pertengahan 1990-an surat kabar full colour pertama di Indonesia, Harian Prioritas milik Surya Paloh juga digorok. Menteri Penerangan masa itu adalah Harmoko, mantan Ketua umum PWI pusat.
Melalui “sampul” pers karbitan dan pers swasta yang rada tertekan inilah sang rezim merangcang penciptaan issue (agenda setting), melakukan pembingkaian (framing) dan mengarahkan pandangan publik (Priming), untuk kepentingan kekuasaan dengan modus kepentingan negara dan bangsanya.
Masa bergulir, era pun berganti. Kekuatan rezim tiga dekade ini rubuh. Munculnya era baru. Era reformasi di negeri ini adalah sejarah baru. Era terangkatnya kembali peran pers. Dengan adanya reformasi dalam berbagai hal, terjadilah berbagai perubahan terutama berkaitan dengan reformasi dan supermasi hukum serta kembalinya alam demokratisasi hingga saat ini.
Seiring reformasi berjalan, yang menjadi catatan khusus dan tidak kalah pentingnya untuk diketahui para generasi muda kita. Pada era ini pula presiden bisa berganti sebelum masa dua tahun. Peran menakutkan, yakni dwi fungsi Abri mendadak raib di Bumi Nusantara.
Kini Kita pun menjadi bebas beropini dalam segala sisi pandang masing-masing, sebagaimana termaktub dalam UUD Republik Indonesia.Lagi-lagi muncul pertanyaan. Akankah ini berlaku sepanjang masa republik ini?
Benih bakal padamnya ruang demokrasi dalam sistim demokratisasi kita ini mulai bermunculan. Dulu Media pers kita traumatis dengan hukum pembreidelan.
Kekinian, ditinjau dari kacamata opini publik, Medsos dan para komunikator kita sedang terteror UU ITE. Untungnya lembaga PWI sudah melakukan MoU dengan lembaga Polri. Jika tidak, tunggu jemputan untuk beralasan penyelidikan untuk penyidikan.
Pada puncak HPN di Kendari, Sultra, Presiden Jokowi mewacanakan percepat prosesing draft regulasi untuk media pers. Mudah-mudahan, butir demi butir dalam draftnya kelak, benar- benar memihak pada tupoksi jurnalis Indonesia tercinta. Semoga tatanan hukum untuk wartawan masih berlaku rumus Generalist Derogat Lex Specialist.
Kita berharap, semoga praktik traumatis si “tangan besi dan otoriterisasi,” tidak menyapa kita lagi di alam millenialist yang demokratis. Alam yang berazaskan falsafah pancasila dengan dasar umbrella Exnya UUD RI 1945.
Semoga cuplikan subject materi pada clossing mata kuliah Opini Publik Saya pada Fisipol Unida Aceh ini berguna untuk seisi negeri.
Menyimak kondisi berkaitan dengan soalan bentuk priming yang diikuti dengan agenda setting media tertentu akhir-akhir ini. Timbul pertanyaan, akankah rezim sekarang ini akan memberlakukan sistim otoriterisasi melihat guliran opini publik sudah tak menentu arah lagi?
Andai ini dilakukan? Maka tergusurlah roh reformasi dan sama dengan menginjak-nginjak perjuangan arwah kaum reformis serta misionis reformis yang belum tentu tidak menjadi benih “revolusionis.” Thanks much for all.*** Adnan NS
Penulis : Adalah mantan Senator Indonesia (DPD RI), pernah mejadi Ketua PWI Aceh, wartawan senior (Harian Waspada Medan)